6.Halflings and Pancakes

5 0 0
                                    


Kaum Katai memang petani dan peternak terbaik sepanjang masa. Meski banyak kalangan menghina ukuran tubuh mereka yang paling kecil diantara ras yang ada di negeri kita, namun kita tak bisa membantah bahwa surplus makanan kebanyakan berasal dari komunitas katai yang tak kenal–

"Bir pesananmu, Kawan," katai penjaga kedai memukul-mukulkan bagian bawah gelas untuk menarik perhatianku, membuat isinya berceceran.

"Bir," ia mengulang lebih keras saat aku tak menjawab, hanya menatapnya tajam yang kuharapkan menyiratkan pesan menyingkir-dari-mukaku-sekarang, karena cairan itu sedang mengancam akan membasahi karya tulisku.

"Bi–"

"Iya, aku paham!" aku merenggut minuman itu dari tangannya sebelum ia mampu menumpahkan lebih banyak lagi isinya, yang kuanggap sebagai sebuah kejahatan yang harus dihukum berat.

Si katai mengangkat bahu, sementara Ailin mengikik keras di sampingku. Aku meneguk minumanku demi menghindarkan diri dari kewajiban menjawab ejekannya, kemudian menatap kertas dan memikirkan tulisan lanjutannya.

Komunitas katai ramah pada kami. Begitu aku mengenalkan diri dengan kemampuan bersosialisasiku yang luar biasa, mereka lekas menggiringku ke kedai terdekat, The Golden Fields milik Paman Tom. Memang konyol memanggil seseorang yang hanya setinggi lututmu dengan sebutan "paman", tapi panggilan itu sudah melekat sehingga aku terpaksa ikut-ikutan.

"Melamun, Tordis?" sapa Hijack, petani yang rumahnya hanya dua petak dari sini, baru masuk dan membunyikan lonceng kecil yang selalu berdentang kala ada pelanggan datang.

"Itu tugas seorang cendekiawan," aku seenaknya menjawab, "melamun dan kantong uang kami terisi secara otomatis."

Hijack tertawa sembari mengelus perutnya yang menonjol, "Aku tergoda untuk menyimpan cangkulku dan mulai sering membaca sekarang. Andaikata aku bisa membaca, tentunya. Hahaha!"

Tak bisa dicegah, aku juga ikut tersenyum. Jangan tanya lagi soal Ailin, ia selalu tersenyum bahkan jika suasana hatinya sedang buruk.

Hijack mendekat ke arah katai yang memberikan bir padaku, yang sedang memoles meja sampai aku yakin semut pun akan tergelincir saking bersihnya. Aku tak tahu namanya, karena ia baru bekerja disini beberapa hari, namun aku mendengar desas-desus kalau ia kemenakan Paman Tom.

Mereka bertukar kabar sebentar, yang aku sudah tahu gambaran kasar isinya. Mungkin sepupu dari bapaknya sedang panen besar, atau saudara dari tetangganya sedang sakit dan harus dijenguk. Hal-hal biasa semacam itu, namun aku tak tahu kenapa hatiku berdesir tiap kali melihat katai mengobrol ringan dari kejauhan. Berbeda dan begitu jomplangnya dengan hal-hal besar namun diomongkan dengan sangat membosankan oleh para dosen Limrod.

"Orang-orang katai begitu hangat dan ramah," Ailin berkomentar sembari mencomot biskuit gandum di depanku. "Akan sangat menyenangkan seandainya kita tinggal di sini."

Hari ini aku tak bisa membantahnya, karena pikiranku juga sama persis. Namun, ada hal yang cukup aneh sehingga harus kutanyakan.

"Tunggu dulu. Kita?" aku bertanya heran, berpaling padanya.

Ia tersedak biskuit sampai-sampai aku harus menepuk-nepuk punggungnya.

--

Manusia boleh membangun menara melampaui langit. Peri boleh mencipta kota bawah air dengan sihir. Liliput boleh terus memeras otak hingga mampu merancang kendaraan terbang. Namun kita semua tahu, hal-hal agung tersebut tak akan ada tanpa hal-hal mendasar: sandang, pangan, dan papan.

Kita selalu tahu pada katai-lah harapan kita saat pencapaian luar biasa berubah menjadi mengerikan. Sejarah sedikit mencatat nama katai, namun yang sedikit itulah yang menorehkan legenda, nama mereka bersanding dengan pahlawan dalam mitos. Brogo dan Cincin Sakti adalah salah satunya.

Jalan-Jalan 7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang