MENTARI : Insiden di UKS

47 9 0
                                    

Sudah selayaknya hatiku bisa merasakan kebahagiaan. Tapi, Tuhan berkata lain dengan terus memberikan cobaan tiada henti padaku.

●●●

MELAKUKAN peran seperti biasanya. Itulah yang selalu aku lakukan. Tersenyum bahagia dimeja makan seolah tidak terjadi apa-apa tadi malam. Pagi ini aku menggunakan jaket agar menutupi tanganku yang terluka. Aku tidak mau ayah bertanya padaku, dan menghawatirkan ku. Lagipula, jika ibu tau, aku bisa terkena marah lagi dan lagi.

"Bagaimana dengan sekolahnya dek?" ayah bertanya dengan lembut dengan senyuman yang menghias bibirnya hingga membuat kerutan diwajahnya semakin bertambah.

Aku tersenyum riang, "Lancar yah. Sebentar lagi Mentari ujian semester, jadi harus giat belajar."

Kak Ragil ikut tersenyum juga, "Jadi, bakalan yakin bisa jadi peringkat satu lagi nggak?"

"Jelas dong! Hidup itu harus optimis kak."

Ayah berseru, "Nah gitu dong anak ayah."

Kak Satya pura-pura cemberut, "Jadi anak ayah cuma Mentari aja nih?" tanyanya.

Semua terkekeh. Kecuali, ibu yang masih terdiam sambil memakan sarapannya dengan tenang. Mungkin, dia masih marah dengan kejadian kemarin. Aku yakin ibu pasti belum puas menyiksaku kemarin, karena kedatangan kak Satya.

"Semuanya anak ayah. Bukan hanya Mentari tapi Satya sama Ragil juga."

Suasana hangat pagi ini. Aku bersyukur, walaupun setelah ini akan terjadi lagi perang dingin antara aku dan ibu. Setidaknya—aku merasa punya keluarga hanya saat pagi dan malam, saat kami berada dimeja makan. Selebihnya aku selalu sendiri. Selalu seperti itu dan aku sudah terlanjur terbiasa.

"Kalau kamu dapet rangking lagi, kamu boleh minta apa aja dari kak Ragil."

Mendengar itu mataku berubah berbinar dengan senyum yang kian merekah lebar, "Serius kak?"

"Serius dong!"

"Jangan terlalu manjain adik kamu Ragil. Mending uangnya ditabung buat keperluan kamu," ucap ibu seolah-olah berperan menjadi ibu yang paling pengertian.

Tubuhku merosot bagai terbang seolah dihempaskan dengan kejam. Aku menunduk kembali menyuapkan nasi goreng buatan ibu kemulutku. Setelah aku menelannya aku berkata mengikuti alur drama yang ibu buat, "Ibu bener kak! Mendingan uangnya ditabung aja."

Ayah memandangku dengan sayang, "Gadis kecil ayah sekarang udah gede ya. Sudah bisa berpikir dewasa."

Lagi-lagi aku tersenyum kecut, "Iya yah."

Ibu selalu merenggut semuanya. Saat mereka ingin berbaik hati memberikan secuil kebahagiaan untukku, dia selalu ingin merampasnya. Entah mengapa, dia begitu pilih kasih terhadapku.

Kak Satya mengelus tanganku yang berada dibawah meja makan. Aku tau kak Satya hanya ingin menenangkanku. Mungkin semua tidak tau kelakuan ibu, tapi kak Satya bahkan tau semua bagaimana sikap ibu tirinya terhadap adiknya.

"Nggak papa bu. Alhamdulillah Ragil baru saja dapat rezeki dari kantor. Lagian, biar adek makin semangat belajarnya." jelas kak Ragil berharap ibu bisa mengerti.

Ibu mendengus tertahan. Bibirnya mengatup rapat tanpa membalas ucapan kak Ragil tadi. Aku yakin saat ini ibu akan menyimpan kekesalahnya pagi ini dan menumpahkannya saat dirumah benar-benar hanya aku dan dia.

"Kamu mau apa? Nanti kalo abang pulang kerja insaallah abang bawain yang kamu mau. Tapi harus janji kalau kamu giat belajarnya."

"Loh, cuma Mentari aja Bang? Satya nggak ditawarin juga nih?" rajuk kak Satya membuat ayah dan yang lain tertawa geli.

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang