Sayap di Awan

19 2 0
                                    

Dengan berat hati kami harus bersiap untuk turun meninggalkan puncak yang menjadi bonus dari pendakian kami saat itu. Sebelum kembali kami membereskan semua barang-barang bawaan tak lupa juga mengemas sampah-sampah dari makanan serta minuman kami kedalam sebuah plastik untuk di bawa turun. Karena alam harus tetap dijaga maka hanya jejak yang boleh kita tinggalkan di sana, serta membawa setiap cerita yang akan menjadi kenangan dalam setiap hati kita.

Melihat Ian yang sudah membawa tas besar lalu akan membawa sebungkus penuh sampah botol minuman kami, Delisa meminta tolong kepada Umam untuk membawakannya. Setelah semua beres kami mulai berjalan turun. Lagi-lagi di sebelah kiri jalan kami melihat pemandangan dengan awan tebal yang menarik hati segera saja kami bersama-sama tanpa perlu dikoordinasi kami mengambil tempat masing-masing, memasang senyum terbaik meskipun sinar matahari menyorot kewajah kami.

"Ayoo lanjut jalan lagi yuuk...."

Jalan selebar bahu dengan jurang menganga pada kiri kanan kami. Pemandangan langit dengan gumpalan awan masih menjadi daya tarik bagi semua pasang mata yang menatap.

"Memang tadi kita lewat sini yah?"

"Iyah, kok nakutin gini jalannya" Sambut yang lain

"Kalau tadi terang dan lihat jalan begini kayaknya lebih milih turun deh"

Kami semua takjub dengan semua yang tak kami lihat ketika mendaki namun saat kembali dengan melalui jalur yang sama membuat kami dapat berbangga diri karena mampu melewatinya, sedangkan saat itu kalau kami tak berani untuk menaklukan jalur cukup ekstrim, itu artinya kami tak bisa pulang. Tak ada pilihan lain dan itulah yang kami lakukan, menaklukan ketakutan.
Kami melanjutkan perjalanan untuk turun, matahari mulai naik perlahan hampir berada tepat di atas kepala kami membuat hangat terasa pada kulit. Yang lain memutuskan untuk terus berjalan sedangkan Cinthya dan Sherly terhenti tanpa tahu apa yang ada di pikiran mereka masing-masing.

"Kenapa kalian? Lanjut saja terus" Ujar Ian kepada keduanya yang mematung tanpa kata

Lagi-lagi keduanya bertatapan tanpa kata, lalu menoleh kepada Ian yang masih tak mengerti.

"Kalian kenapa? Jangan ikut kita, ini Delisa turun bisa makan waktu lama loh" Jelas Ian

"Iya kita tahu, tapi kasihan lah kalian berdua saja" Ujar Cinthya

"Bener tuh, kita temenin kalian deh" Tambah Sherly

Entah bagaimana cara keduanya mencapai satu kesepakatan tanpa adanya diskusi sebelumnya. Memang masih belum sampai pada keputusan akhir namun mereka masih tetap memilih untuk tak ikut yang lain.

"Gini deh, kalau gak salah satu dari kalian yang temenin kami gimana?"

Sherly dan Cinthya saling menatap tanpa kata, kebingungan melingkupi keduanya, setelah perjalanan ke bukit mereka menjadi dekat bahkan kali itu mereka masih tetap bersama

"Sherly kan memang satu penginapan sama kita tapi Cinthya kan beda, nanti kasihan kalau pulang sendiri" Ujar Ian masih mencoba merubah pikiran keduanya.

"Loh kok masih di sini?" Ujar bang Mada yang baru saja turun lengkap dengan tas penuh perlengkapannya "Yuuuk turun, biar saja Ian gak masalah kok berdua sama Delisa"

"Kasihan loh bang Mada, masa ditinggal" Ujar Sherly

"Iya, meskipun gak bisa bantu apa-apa setidaknya kita bisa nemenin deh" Tambah Cinthya

Pada akhirnya mereka berdua entah mendapat keyakinan dari mana, mereka memutuskan untuk menemani Delisa, meskipun mereka tahu resiko yang harus ditanggung. Entah berapa lama waktu yang akan mereka habiskan untuk turun. Saat itu mereka berempat adalah yang terakhir dari rombongan. Namun ternyata bang Mada tak begitu saja pergi, ia berhenti beberapa kali untuk menunggu kami.

Sayap di awan (true Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang