Chapter 2: bab 07

128 14 4
                                    

Sinar redup dari cahaya orange merembes di antara beberapa langit-langit.
Badanku terasa sakit, itulah yang kurasakan.
Tidak ada rasa lain. Ini terlalu mengigit. Tapi ini adalah tanda bahwa diriku masih hidup.

"Apa mereka baik-baik saja...." pekikku dengan nada berat.

Aku merasa familiar dengan ruangan ini... Ah, ini adalah asramaku.
Segera ku utarkan pandanganku, semilar angin menebus dari jendela, di dekat meja tersenderlah sebilah pedang.
Pedang itu panjang, biru mengkilap dengan ukiran bunga pada tengah gangang pembatas.

"Kamu... Kamu sudah bangun..."

Suara lembut itu hampir membuat kesadaranku terguncang.
Satu-satunya yang memanggilku dengan begitu lembutnya. Walau itu hanya ia gunakan saat ia sadar bahawa aku telah menginggat masa laluku.

"Alia...."

Di dekat pintu, berdirilah sosok gadis dengan rambut panjang berwarna emas keemasan yang ia biarkan tergerai menutupi sweeter putihnya.
Sendangkan ditangannya, ia memengang sebuah nappan yang memuat semangkuk bubur dan air hanggat, yang masih mengepulkan asap.

Alia perlahan mejejakkan kakinya, ia berjalan pelan menuju kearahku.
Air matanya semakin jelas, dia menangis.

"Kenapa... Kenapa?! Kamu seharusnya membiarkan aku!"
Ia memelukku setelah dengan kasar meletakkan nappan itu di atas meja.
"Aku... Sudah kehilangan nee-san, sekarang juga hampir kehilanganmu! Cukup aku saja yang menghilang... Tetapi Kazuto-nii—!?"

Tubuhku bergerak dengan sendirinya, aku mengecup kening Alia.
Itu membuat ia tertegun, terpaku dalam sebuah detik yang menjelma menjadi menit.

"Bodoh... Sudah cukup untukku menangung beban kehilangan Alice. Jika kamu juga hilang... Siapa lagi yang ada untuk Egeo dan diriku? Jangan mengatakan hal yang bodoh. Alia..."

"..... *sob*..."
Alia terus menangis sambil memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat, seakan tidak akan ingin diriku pergi. "Aku... Aku tidak tahu. Maaf...."

"Haha... Apa yang kamu bicarakan? Akulah yang harusnya minta maaf... Dan terimakasih."



2 minggu kemudian...

Pagi ini aku bangun seperti biasanya, semilar angin pagi menyambut.
Rutinitas telah berjalan, suara ramai dari para warga terdengar.

Egeo dan diriku berjalan di antara para warga yang terus menyapa.
Sejak hari itu kami tidak lagi di juluki anak nakal, melainlan phalawan.
Egeo juga mendapatinya.

"Hey? Apa kita mampir dulu?" ucapku sambil menunjuk pada sebuah toko yang berdiri di pinggir jalan.

Toko yang mirip caffe itu adalah tempat nonkrong Egeo dan diriku sesering yang kami lakukan.
Tapi akhir-akhir ini kami jarang mampir karena sibuk dengan penebangan.

*kring!*

Bel penyambuttan berbunyi saat kami membuka pintu dengan perlahan.

"Selamat datang...!"

Sambut seorang gadis dengan sopan.
Dia memakai sebuah sweeter coklat dan clemek hijau. Rambut coklatnya ia ikat kebelakang, dan poninya ia biarkan tergerai bebas menutupi dahinya.

"Oh Ruri, lagi berjaga huh?" ujarku dengan nada sedikit menyindir.

"Iya, jadi. Kenapa dua phalawan ini mampir kesini, lagi?"

Egeo deluan melengangkan kakinya menuju meja yang ada di dekat kaca lebar tersebut.
"Haha! Kazuto saja yang phalawan kop!"

"Alasan itu sudah berkali-kali, kau utarkan E-g-e-o." ujarku mencoba menyanggah pendapat yang ia utarkan.

Ruri menghela napas panjang. Lalu segera barjalan menuju dapur.
"Seperti biasa bukan?" ujarnya sambil melengang, menghilang dari balik pintu dapur.

Egeo duduk di dekat pojokkan, sedangkan diriku di depannya.
"Jadi... Berapa lagi yang harus kita ayunkan?"
Tanya Egeo, membahas tentang Gigas jedar.
Pohon yang menjadi wancana kami saat ini. Telah membuat kami segera memutuskan untuk cepat-cepat menebang pohon itu, lalu menuju ibu kota untuk masuk, menjadi Intergrity Knights. Tapi sebenarnya tujuan kami adalah seorang gadis... Teman masa kecil kami, Alice.

"Hmm... 100.000.000 ribu juta kali?"
Aku mengucapkannya secara asal.
Dan itu membuat Egeo semakin depresi.
"Haha... Aku bercanda."

"Dasar... Tapi kamu benar. Kita harus mengunakan sesuatu yang lebih ampuh dari bone axe of dragon."

Apa yang Egeo ucapkan itu cukup benar.
Tapi apa yang bisa memotong pohon itu selain kapak itu? Exalibur mungkin, tapi itu tidak ada di dunia ini.
Walaupun ada, mustahil untuk mendapatkannya!

Ruri mengetuk pintu pemikiran kami dengan aroma roti cream dan coffe hanggat yang ia bawakan.
"Hmm... Pedang Blue rose sword mungkin..." ujar Ruri berpendapat.

Seperti biasa, ia mengeser kursi yang ada di kanan, lalu ikut dalam pembicaraan kami.
Dia adalah teman gadis yang dekat bersama kami selain Alice dan Alia. Walau kami baru berteman beberapa minggu yang lalu.

"Blue rose sword? Pedang itu kalau tidak salah..."
Ujarku sambil menyanggah dagu di atas meja. Blue rose sword ada di dalam kamar asramaku...

"Hmm??"

"Apa kau tahu, Kazuto?!"

Aku terdiam, entah mengapa aku menyunggingkan senyum kecil penuh arti.

~to continued.

Sword And Destniy [Underworld Aliaztion]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang