Sesal

114 7 1
                                    


Sepi ini menyiksaku begitu keji, di hari tuaku kini, tak seorang pun di sampingku untuk menemani. Desakan air mata tak mampu lagi dibendung kelopak mata tuaku, air mata penyesalan, karena kini aku baru mengerti arti sebuah kehilangan.

Berkat kesombonganku, aku telah kehilangan cinta dari orang-orang yang semestinya kini ada menemaniku. Tak ada goresan tinta emas yang kutorehkan di hati mereka, untuk membuat mereka mengenangku dengan indah.

"Pergi saja dari rumah ini!" Kata-kata yang kerap kulontarkan pada mereka, saat mereka tak suka akan sikapku. Akulah tulang punggung keluarga, aku yang menafkahi mereka, maka itulah senjataku untuk mengintimidasi mereka.

Aku leluasa mengatakan apa yang kusuka, aku juga akan melakukan apa yang kumau, dan mereka harus tunduk padaku. Kuasa ada di tanganku.

Dan pada sore itu, untuk kesekian kalinya kulontarkan kembali kata itu, dengan serangkaian kata lainnya yang menurut mereka kasar, keji, tak pantas. Huh, aku tak perduli. Itulah senjataku
yang akan menunjukkan siapa diriku, menunjukkan kekuatanku.

"Nggak pantas Pak, kata- kata seperti itu kamu ucapkan pada anak sendiri," ujar istriku dengan napas tersengal menahan emosi.

"Mau sampai kapan kamu terus begini? Selalu menyakiti kami dengan lisanmu yang keji." Matanya menatapku tajam.

"Ah, selalu saja kamu ikut campur. Lihat apa yang dilakukan anakmu? dia mulai melawanku," Aku tak mau kalah berargumen.

"Siapapun Pak, jika terus-terusan dihina, dicaci, diperlakukan semena-mena tentu akan membela diri. Bagus anakmu masih coba menahan diri, masih melihat kamu sebagai bapaknya," bela istriku.

Di salah satu sisi rumah, pemuda itu diam berdiri, menatap kami dengan pandangan berapi. Ya, baguslah, tampaknya dia tengah coba menahan diri, untuk tidak berbuat durhaka padaku. Sementara adu mulut di antara aku dan istriku semakin panas, hingga akhirnya tinjuku mendarat di wajah perempuan itu.

Sejurus kemudian wajahku terasa nyeri dan panas, kepalaku pusing, aku terhuyung. Sebuah tinju mendarat tepat di pelipisku. Pemuda yang sejak tadi terdiam, kini sudah berdiri di hadapanku. Putra sulungku yang telah menginjak remaja, menatapku penuh kebencian.

"Jangan coba-coba sakiti ibu, ya! Jangan berani menyakiti perempuan!" ujarnya sambil menatapku, yang tengah kesakitan.

"Sinta... Sinta...! bawa ibu, dan bereskan semua pakaian kita!" perintahnya, pada putri bungsuku yang sedang menangis.

Dan sejak hari itu, mereka menghilang dari hidupku. Meninggalkan aku sendiri berkalang sepi, sesal dan air mata. Berbagi cerita dengan sebuah buku tua, dengan rangkaian aksara.

Kumpulan Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang