Pinky Boy

68 3 0
                                    


PR matematika selalu terasa membosankan buat Ria. Rumus dan angka adalah resep paling ampuh untuk meninabobokan gadis itu.

Namun saat ini, dia harus melawan serangan kantuk yang menggoda untuk segera menutup buku di hadapannya. Bayangan seorang lelaki berkacamata, yang tak pernah lepas dari aksen warna pink dalam setiap penampilannya, selalu membayangi.

Ya, Pak Wisnu, guru matematika baru yang sering kali membuat Ria keki. Lelaki jangkung dengan aksen warna pink yang selalu hadir dalam setiap tampilannya. Bagi Ria ini adalah hal yang sangat menggelikan, melihat seorang laki-laki menyukai warna pink, sementara Ria mengharamkan pink dalam hidupnya. Entahlah, baginya warna pink itu terlalu kemayu.

Hingga suatu hari pada jam istirahat, Pak Wisnu memergoki dirinya yang tengah membicarakan dan menertawai kepinkyan si Bapak. Maka sejak itu pula, Ria selalu mendapat kehormatan untuk mengerjakan soal di papan tulis, yang berujung jam tambahan baginya, karena tak mampu menyelesaikan soal yang diberikan. Hal ini terus berulang, dan menjadi kisah horor tersendiri bagi Ria.

"Ria... ada tamu nunggu di bawah." Kepala mama melongok dari pintu kamar.

"Siapa, Ma? " tanya Ria.

"Wisnu, katanya. Teman di mana? Kok Mama baru sekarang lihat dia?"

"Dih, Wisnu? Wisnu?" Ria coba memastikan jika telinganya tidak salah mendengar, seraya mengernyitkan dahi.

"Iya, Wisnu. Tinggi, kacamata, ganteng, sopan lagi. Ada juga temenmu yang rapi, ya?" Mama tersenyum menggoda.

Ria bergegas menuju ruang tamu. Jantungnya seketika berdenyut lebih cepat, tangan terasa dingin dan sedikit gemetar, saat melihat lelaki yang tengah duduk menunggunya itu. Namun debaran ini terasa indah, Ria menyukainya.

"Hai, lagi sibuk?"

"Eh, iya Pak. Oh, enggak... maksudnya cuma lagi ngerjain PR dari Bapak." Jawab Ria kikuk.

"Wah... keren, itu Bapak suka." Lelaki itu mengangkat jempol kanannya.

Kata suka yang sampai di telinga Ria, langsung melesat ke jantungnya. Memacu debar semakin kuat, namun hatinya bahagia.

"Maaf Ri, kamu terganggu, nggak?" Tatapan menyelidik di wajah itu membuat Ria semakin gelagapan.

"Nggak Pak, nggak sama sekali. Cuma kaget aja, gak nyangka Bapak mau mampir ke rumah." Ria berusaha mengendalikan dirinya, untuk tampil setenang mungkin.

"Ada kabar baik buat kamu." Senyum itu kembali luluhkan pertahanan yang tengah dibangun Ria.

"Apa?" Ria memajukan kepalanya.

"Mulai Senin Bapak digantikan guru lain. Alhamdulillah, Bapak dapat beasiswa untuk kuliah lagi di Cambridge. Jadi banyak hal yang harus dipersiapkan."

Hati Ria mencelos. Kabar baik? kabar baik apa? Bahkan kini hatinya mulai gerimis.

"Bapak tahu, kamu kurang suka Bapak sejak awal. Bapak juga tahu kalau kamu kurang berkenan dengan jam tambahan yang Bapak berikan. Bapak terlihat seperti balas dendam, ya?" Lelaki itu tersenyum. 

"Sebenarnya tidak begitu, tak ada dendam sama sekali. Karena itu Bapak mau minta maaf sama kamu jika sempat membuat kamu keki, sebelum Bapak pergi."

Ria terdiam, coba menata kecamuk di hatinya, setelah melambung dan gerimis dalam waktu bersamaan.

Kumpulan Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang