four: Not Bad

977 112 45
                                    

Jack belum pernah merasakan kemarahan yang benar-benar seperti sekarang ini. Cowok itu marah pada takdir mengenaskan yang menimpa dirinya. Ia marah pada kedua orang tuanya yang dengan tega dan secara sepihak menjerumuskan anaknya di sekolah tidak berkualitas. Gak elite. Jack yakin, orang tua nya memang sengaja mau merusak masa depan hidupnya.

Entah apa yang akan terjadi saat Jack menginjakkan kakinya di sekolah itu nanti, mungkin ia langsung pingsan di tempat? Yang jelas Jack berjanji dia tak akan sudi berada lama-lama di sekolah tidak jelas itu. Banyak cara sudah ia pikirkan dari tadi malam agar ia bisa dikeluarkan langsung di hari pertama ia sekolah.

"Syukurlah papa gak perlu bakar kamar kamu biar kamu mau keluar buat sekolah..."

Baru saja langah kaki Jack menginjak anak tangga terakhir. Kata-kata kejam langsung keluar dari mulut Papanya. Jack mendengus kesal. Ayah mana coba yang tega bakar anaknya?

"Emang gue ikan gurame apa dibakar."

Mentari menggelengkan kepalanya dengan kalimat Jack tersebut. Alih-alih diam jika Ayahnya sedang memarahi, Jack justru melawan dengan kalimat yang membuat ubun-ubun suaminya tambah panas. "Sini sarapan dulu kebetulan ada gurame, tapi goreng bukan bakar."

"Gausah. Gue langsung pergi aja."

Satu lagi kebiasaan buruk Jack jika sedang marah. Bahasa dengan teman ia gunakan juga pada dua orang tuanya. Tak peduli itu sangat tidak sopan. Diwa dan Tari sudah sampai berbusa memberitahu anak mereka. Namun seperti biasa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Minta duit."

Jack cuma mau realistis. Walaupun ia marah pada orang tuanya. Tapi dia gak mau mati kelaperan juga mulutnya membasi karena gak nyebat. Lagi pula dia ini masih punya hak buat dapat uang jajan kan ya? Kalau gak dikasih, orang tuanya bisa saja ia laporkan dengan tuduhan menelantarkan anak.

Diwa mengambil dompetnya dari saku belakang celana jeans yang dia kenakan. Mengambil satu lembar uang berwarna hijau dan menyerahkan uang itu pada anaknya.

Jack kontan melongo. "Hah? Cuma dua puluh rebu?" tanya Jack sambil menatap uang dua puluh ribuan itu horror. Seolah-olah seumur hidup Jack, ia tak pernah memegang uang dengan nominal rupiah segitu.

"Cukup itu buat makan siang," kata Diwa santai.

"Cukup apanya? Mana ada sekarang ini di Jakarta bisa makan pake dua puluh ribu?!"

"Ada Jack. Ada banyak warteg atau warung makan di depan Luhur Mulia itu murah-murah. Mana enak lagi. Papa sama mama pernah coba makan---"

"Apaaa? Kalian nyuruh anaknya makan di warung makan emperan kaya gitu? No! Itu kan gak higienis banget! Mana dipinggir jalan gitu kena asep, dilalerin! Iyuh gak gak! Pokoknya minimal J makan di solaria. Tambahin sini duitnya!"

Lagi-lagi Diwa dan Mentari harus menghembuskan napas sabar. Padahal belum ada jam tujuh tapi suasana rumah mereka sudah sepanas api neraka. Bagaimana mereka gak cepet tua kalau setiap hari. Setiap saat. Telinga mereka harus mendengar ocehan Jack yang kurang ajar macam begitu.

"Jack, udah ya kamu bawa uang segitu saja. Kalau kamu memang gak mau makan di warung karena gak higienis, mama bawain bekal aja mau?" Kali ini Mentari yang berbicara. Mencoba menengahi.

"Hah? Ya kali gue bawa-bawa bekal tupperware ke sekolahan gitu, Ma. Bisa anjlok tingkat keganteng-dan-keren-an Jack. Ogah!"

"Yaudah! Kamu maunya apa sekarang?!" tanya Diwa dengan nada yang mulai meninggi.

"Jack mau dikembaliin ke sekolah elite. Dan hak sepenuhnya lagi pada mobil, motor, sama atm. Bye."

Setelah mengatakan itu, Jack langsung berbalik. Pergi meninggalkan ruang makan. Tak ada salam yang baik bahkan cium tangan seperti yang sering dilakukan Jack.

átaktosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang