Saatnya Banowati melahirkan anak pertamanya. Sayang sekali, Duryodana tidak ada di sampingnya. Ia sedang melakukan titian muhibah ke negeri jiran. Ia sempat memperkirakan kalau anak pertamanya akan lahir setelah ia pulang dari acara kenegaraan itu. Rupanya si jabang bayi ingin segera melihat dunia. Tangisan bayi memecah kesunyian istana keputren. Bidan istana yang membantu proses persalinan Banowati membawa bayi merah ke dekat wajah Banowati.
"Anak lanang, gusti permaisuri," kata bidan istana, setengah berbisik.
"Syukurlah. Kakang Duryodana pasti akan sangat bahagia," jawab Banowati.
"Wajah anak ini tampan sekali, gusti!" kata bidan istana lagi.
Banowati segera menatap wajah anaknya. Dan ia sangat terperanjat. Wajah anaknya mirip sekali dengan wajah Arjuna, kekasih gelapnya. Tak ada mirip-miripnya dengan Duryodana. Ia segera meminta bidan dan dayang-dayang lainnya untuk keluar kamar. Ia beralasan, ingin beristirahat.
Bingung. Linglung. Itulah yang berkecamuk di pikiran dan dada Banowati. Bagaimana reaksi Duryodana nanti ketika melihat bayi itu? Ia pasti akan tahu kalau bayi itu bukan dari benihnya. Dalam kekalutan seperti itu hadir Bethari Durga masuk ke dalam kamarnya.
"Bantu aku Bethari. Please… bla..bla…" sembah Banowati kepada Bathari berjenis kelamin perempuan itu.
"Oke, gampang saja. Tapi ada tumbalnya!" sahut Bethari Durga.
Kesepakatan diperoleh. Simsalabim. Wajah bayi itu disulap menjadi sangat mirip dengan Duryodana. Banowati lega hatinya.Maka, Duryodana melakukan acara sepasaran bayi sekaligus mengumumkan nama bayi lelaki itu: Lesmana Mandrakumara. Sebagai calon putra mahkota, Duryodana sangat mencintai Lesmana. Namun, dalam perkembangannya, Lesmana semakin berperilaku aneh, selalu kekanak-kanakan. Tidak pernah dewasa. Lesmana menderita keterbelakangan mental. Itulah tumbal yang disepakati oleh Banowati dan Bethari Durga. Dan saat dia harus maju perang sendiri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia memerintahkan prajurit kerajaan untuk mengamankan istri tercintanya ke tempat persembunyian.
"Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negri Astina kepada Pandawa?"
Mendengar pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa maksud dari pertanyaan istrinya, yang sebenarnya ingin memastikan keselamatan dari kekasih abadinya, Arjuna.
"Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru kami Durna, pun telah tiada. Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur setelah menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati," geram Duryudana membayangkan gugurnya para andalannya yang gugur dalam pertempuran itu.
"Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak tahu diri. Termasuk golongan pecundang. Berpesta pora di atas darah dan peluh orang-orang yang membantu kemulyaan kita. Ingat Banowati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini," tekat Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara.
"Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri Kangmas ? Bukankah sebenarnya Kangmas dapat menghindari perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun, rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya ?" pedih Banowati tidak berdaya.
"Oooo Banowati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima, dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus terjadi"
"Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah menghasilkan hanya ada dua pilihan. Antara menang atau sebagai pecundang, antara masih hidup atau meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu bagaimana cinta kanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui," lembut Duryodana mengungkapkan hal itu.
Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryodana harus yakin akan keselamatan Banowati, meskipun ia tahu dia maju berperang untuk menjemput maut.SELESAI