Naira meletakkan ransel pink nya ke soffa ruang tamu. Ia mendudukkan dirinya di soffa berwarna cream, ia menghembuskan napasnya lelah. Seorang wanita muda datang menghampirinya.
Wanita itu berperawakan tinggi, dan berkulit putih. Rambutnya di gulung asal."Eh... neng Enay udah pulang" kata wanita itu.
"Iya nih mba Ella, Enay cape banget tadi nunggu mikroletnya lama banget, jadinya Enay jalan kaki" Naira menempelkan telapak tangannya di dahi, bawah hidung dan dagu. "Pas udah jalan jauh baru mikroletnya nyampe. Huuuhhh panasnyaahh" lanjut Naira menceritakan kronologisnya secara lengkap.
Mba Ella terkekeh mendengar cerita anak asuhnya itu. "Enay mah ngga sabaran, harusnya Enay tunggu sebentar ntar juga dateng" Naira memanyunkan bibirnya sambil melepas sepatu beserta kaos kakinya. "Oh iya! Enay mau minum apa?" Tanya mba Ella.
"Ntar Enay ambil sendiri aja, mba Ella istirahat aja" tolak Naira beranjak dan berjalan menuju tangga.
Sebelum menaiki tangga, Naira berbalik ke arah mba Ella. "Enay udah kenyang jadi nda' usah di buatin makan siang. Enay udah makan banyak yupi tadi di jalan" terang Naira. Naira berjalan menaiki satu demi satu anak tangga. "Di meja juga ada 3 yupi kalo mba Ella mau ambil aja" lanjutnya tanpa menoleh.
Mba Ella tersenyum menatap punggung Naira yang memasuki pintu kamarnya. Kemudian pandangannya beralih pada 3 bungkus permen yupi di atas meja.
Mba Ella pun mengambilnya. Dirinya juga sama seperti anak asuhnya Naira yang sangat menyukai permen yupi.
Mba Ella merupakan pengasuh yang di bayar kedua orang tua Naira. Naira lebih nyaman memanggilnya mba daripada bi, bu, ataupun teh/teteh. Jika memanggilnya bi terdengar tidak sopan, dan Naira tidak suka memanggil dengan panggilan itu. Jika bu akan terlihat seperti orang tua, padahal mba Ella masih muda dan belum menikah, sangat tidak pantas dengan wajahnya yang bisa di bilang cantik itu. Jika Naira memanggilnya teteh terdengar aneh menurutnya, karna Naira bukan orang Sunda.
Naira hanya tinggal berdua dengan mba Ella di rumah yang di beli ayahnya setahun lalu. Kedua orang tua Naira sedang sibuk bekerja di Jerman. Naira tidak mempunyai sanak saudara di Bandung, tapi ayahnya menginginkan Naira bersekolah di Stamford International School di daerah Dago kota Bandung. Maka dari itu ayah Naira membelikannya rumah di Bandung.
Naira keluar dari kamar mandi yang berada di kamarnya. Ia sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Rambutnya digulung asal.
Naira berjalan menuju ranjangnya dan merebahkan tubuhnya diatas kasur berukuran king size itu. Baginya rumah ini terlalu besar jika untuk di tinggali seorang diri. Menurut terlalu buang - buang uang, lebih baik membeli rumah yang biasa - biasa saja seperti yang ada di Solo.
Tapi apa daya, jika Naira mengatakan itu pasti hanya dijawab 4 kata saja, dan selalu itu.
Karna Ayah sayang Naira
Drrrtt... drttt...
Benda pipih berwarna silver milik Ardhi bergetar. Ardhi mengambilnya di atas meja.
Ardhi melihat notifikasi pesan masuk dari Arif. Ia mengusap layarnya ke atas dan memunculkan aplikasi Line.Arif Rahman: lu dimana?
Ardhi Hartanto: rumah
Arif Rahman: di rumah ada siapa?
Ardhi Hartanto: cuma ada adek gue
Ardhi Hartanto: kalo mau kesini, kesini aja sama dua bandot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom ( Revisi )
Novela Juvenil→ Slow Update || sementara waktu ← Bermula pada saat Ardhi menemukan sebuah foto, lebih tepatnya sketsa pensil. Karna gambar itu dilukis dengan menggunakan pensil. Ardhi teringat kenangan 7 tahun lalu. Kenangan bersama seorang wanita yang sangat ia...