Entah aku harus bersyukur atau menyesalinya...
***
Sudah beberapa kali kepala gadis bermata coklat muda itu mengangguk-angguk spontan. Bukan karena meng-iyakan penjelasan Pak Ono—dosen bahasa Indonesia—di depan kelas, tetapi sedari tadi ia gagal menahan diri dari kantuk yang mulai membabi-buta. Tak jarang, kepalanya terbentur dengan benda keras yang terbuat dari kayu di depannya. Bagi gadis yang selalu mengikat rambutnya itu, penjelasan Pak Ono bagaikan alunan nada-nada yang melenakan, berhasil membuatnya tenggelam dalam kenyamanan hakiki.
Tanpa sadar, seseorang memperhatikan gerak-gerik Ai sedari tadi. Lekukan di bibirnya tak pernah turun, matanya tak lepas dari gadis yang tak jauh dari tempat dirinya duduk. Sepertinya laki-laki itu tidak mau kehilangan perkara langka. Seperti teringat sesuatu, laki-laki itu menjentikkan jarinya pelan. Tangannya dengan lihai merosok ke dalam kantung celana jeans miliknya, mencari sebuah benda persegi yang sering ia gunakan. Tak sampai dua menit, ia berhasil mengambil beberapa gambar.
“Woy, ngapain?” Rendi menyikut lengan Angga pelan.
“Gue dapet foto cewek cakep,” Dengan semangat, Angga menunjukkan foto Ai yang sedang tertidur dengan mulut sedikit terbuka, kepada Rendi.
Mereka berdua akhirnya tergelak setelah melihat foto itu. Dan berhasil mencuri perhatian dosen yang terbilang killer itu.
“Ada yang lucu dengan penjelasan saya, Saudara Angga dan Rendi?”
Sebelum Angga dan Rendi menjawab pertanyaan dosen dengan rambut selalu tertata rapih, tak sengaja ia melihat salah satu muridnya ada yang tertidur pulas. Tanpa peringatan apapun, Pak Ono melemparkan penanya ke arah Ai. Gadis itu langsung tersentak, dan bangun dari hibernasi panjangnya.
Dengan kesal, dipukulnya meja kayu di depannya dengan kepalan tangan.
“Siapa yang lempar pulpen ke gue?” desisnya tertahan, matanya menatap tajam satu persatu makhluk-makhluk di sekitarnya.
Tak ada jawaban, hanya ada cekikikan tertahan dari teman-teman yang memandanginya.
“Apakah pelajaran saya terlalu membosankan, Saudara Zakkiyah?” Pak Ono tersenyum manis ke arah Ai, ia tahu bahwa senyuman yang ditunjukkan kepadanya palsu.
“Kalo boleh jujur iya, Pak. Saya ngerasa Bapak ngejelasin materi ke diri Bapak sendiri, bukan ke kita,” jawab Ai cuek.
Semuanya terperangah mendengar jawaban santai Ai. Tak ada yang berani bersuara bahkan bergerak sedikitpun. Semuanya sibuk merapalkan doa-doa agar selamat dari ocehan panjang Pak Ono. Lain dengan Ai, gadis itu tampak biasa saja, seperti tak ada yang perlu ia khawatirkan.
“Keluar kamu!” Dua kata yang sedari tadi ingin didengar oleh Ai.
Dengan senang hati, gadis berperawakan tinggi itu melenggang santai menuju pintu keluar. Sebuah pintu yang sangat ia idam-idamkan sejak 2 jam yang lalu, pintu yang akan membawanya ke dunia luar penuh hiburan.
“Terima kasih, Pak. Saya permisi....” ujar Ai dengan senyuman yang mengembang sempurna, sebelum ia menutup pintu ruangan ber-AC itu.
Ai menghirup udara dalam-dalam, memejamkan matanya, merasakan setiap udara yang masuk melalui lubang hidungnya. Lalu menghembuskannya perlahan melalui mulut. Tak ada rasa bersalah sedikitpun di dalam hati Ai, bila ia tak menyukainya maka akan ia tinggalkan. Ia tak mau repot-repot mengurusi perkara yang memang tidak ia sukai.
“Pulang aja deh,” Karena tak ada mata kuliah lagi hari ini, Ai memutuskan untuk pulang ke rumah.
Matahari langsung membakar kulit coklatnya begitu gadis berlesung pipi itu menapakkan kakinya keluar lingkungan kampus. Deru suara bising kendaraan memecah konsentrasi Ai. Belum lagi orang-orang yang berlalu lalang melewatinya. Tanpa sengaja seseorang menabrak bahunya hingga ia harus jatuh tersungkur di trotoar yang panas.
“Aww! Biasa aja dong!” pekik Ai garang.
“Maaf, maaf. Saya gak sengaja,” jawab seseorang itu bersalah.
Gadis itu bangun sambil tatapannya tak lepas dari laki-laki asing itu. Tajam dan menusuk, menyudutkannya ke sudut yang paling bersalah. “Gak bisa ya pelan-pelan?! Gak liat ini jalanan rame?!” Ai menepuk-nepuk bajunya yang kotor terkena debu karena jatuh tadi.
Laki-laki dengan kemeja biru tua itu terlihat bingung. Pandangannya kosong, sibuk dengan pikirannya yang terbagi. Hatinya memerintahkan untuk tetap berdiri di tempatnya sekarang, menunggu amarah wanita di hadapannya mereda. Namun logikanya berkata lain, ia sudah sangat terlambat sekarang ini.
“Maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf,” laki-laki itu langsung pergi meninggalkan Ai dengan segala umpatan yang siap terlontar dari mulutnya.
“Gila, sumpah! Ngeselin banget tu orang.” Tangan Ai terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Suasanan hatinya yang sedang baik tiba-tiba saja berubah kelam. Bila ini film anime, pasti dapat terlihat aura gelap yang mengelilinya. Gadis itu tak henti-hentinya menyumpahi laki-laki yang menabraknya, menghiraukan semua orang yang sedang menatapnya aneh. Gadis itu tahu siapa yang baru saja menabraknya. Laki-laki yang ditemuinya beberapa pekan yang lalu. Laki-laki sama yang juga memberikan gelenyar aneh itu. Dia Nafi.
***
Happy reading 😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatwa Hati
SpiritualIni bukan siapa yang paling sempurna. Namun tentang bagaimana proses menjadi sempurna. -Ai