15: Gang Sempit

524 93 63
                                    

Jarum pendek dari arloji berwarna hitam itu menunjukkan angka lima. Laki-laki bersurai sanada dengan arloji tersebut memasukkan kedua tangannya di saku hoodie yang ia pakai. Entah mengapa Mada memilih berjalan kaki untuk memfotokopi kartu pelajar. Jika tidak dibutuhkan, Mada ogah memfotokopi kartu pelajarnya itu. Sakin malasnya Mada memilih lewat jalan belakang rumahnya karena terlalu jauh jika lewat gerbang utama. Bodohnya lagi ia memilih jalan sempit yang sering menjadi tempat tongkrongan anak sekolah.

"Saya gak ngeliatin Kakak."

"Bohong banget, lo."

Samar-samar Mada mendengar sebuah suara berisik di ujung gang. Ya, gang yang menjadi tempat tongkrongan anak sekolah tadi.

"Jelas-jelas lo liatin kita mulu."

Mada berusaha menutup kedua telinganya supaya tidak mendengar beberapa percakapan yang membuat tangannya gatal. Namun, sepertinya tak ada guna Mada menutup telinganya. Sebab dua kata yang dilontarkan laki-laki berseragam di ujung sana sukses membuat Mada mendongak.

"Woi bocah."

Mendongak bukan berarti Mada melirik ke arah laki-laki yang memanggilnya. Bahkan Mada melanjutkan langkah kakinya dengan santai.

"Woi gue manggil lo, bego."

Mada tetap melanjutkan langkahnya dengan tangan yang masih berada di saku hoodie-nya. Melihat Mada, laki-laki yang memanggilnya tadi geram.

"Lo belagu banget, bangsat," ucapnya sambil membuang puntung rokok yang baru saja ia hisap.

Kalimat ketiga itu sukses membuat tangan Mada benar-benar gatal untuk menyobek mulut tak guna itu.

"Bahasa lo rubbish banget, terus gue punya nama. Seenak jidat lo aja manggil gue bego."

Jika yang lain menghindar saat preman-preman sekolah mengeluarkan suara, Mada malah menantang preman belagu ini. Masa bodoh, Mada memang tidak melakukan kesalahan apa pun untuk takut.

"Anjing, belagu amat, lo." Laki-laki berseragam putih abu-abu itu menarik hoodie berwarna khaki miliknya.

Bukannya takut Mada malah menahan tawanya. Ia menertawakan murid sok jagoan yang menarik pakaiannya.

"Lo narik baju gue aja harus jinjit, gak malu?"

Wajah murid berseragam putih abu-abu itu memerah menahan emosinya. Pasalnya benar apa yang dikatakan Mada, laki-laki di depannya harus berjinjit agar bisa meraih hoodie yabg dipakai Mada karena tinggi badan mereka sangat jomplang.

"Banyak gaya."

Sebuah pukulan mendarat di wajah Mada yang sukses membuat sudut bibirnya berdarah. Bukannya meringis menahan darah yang keluar, Mada malah kembali tertawa.

"Kasar banget, malu kali. Btw lepasin dong anak SMP yang lo tahan."

"Lo kira lo siapa nyuruh gue?" Kini dua teman dari laki-laki itu mengepung Mada, sedangkan yang satu lagi menahan anak SMP yang dipalak tadi.

"Gue? Rakyat yang juga punya hak untuk dilindungi. Kalau lo siapa?" tanya Mada enteng.

Sebuah pukulan kembali mendarat di pipi Mada. Sudut bibirnya yang sobek semakin mengeluarkan darah. Mada hanya tersenyum di depan tiga laki-laki yang mengepungnya.

"Do you think you are able to hit me as you wish?" ucap Mada sarkastik sambil menepis tangan laki-laki yang berada di lehernya.

Kini bukan hanya satu orang saja yang memukul Mada, dua orang yang mengepungnya juga ikut memukul Mada. Namun, laki-laki dengan sigap menghindar tanpa membalas pukulan mereka. Mada berjalan menuju laki-laki yang memakai seragam SMP itu, menyuruhnya berjalan terlebih dahulu.

OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang