2

11 1 0
                                    

Jika aku harus berbohong pada masalalu. Biarkanlah. Agar kamu tetap bersamaku.


Kenapa saat ini tanah sangatlah lembek? Ketika Laila menapakan kaki, tanah membawanya untuk diam. Ketika dia berlari, nyatanya kekuatannya hanya sekedar berjalan. Kenapa? Ada apa? Apa karena bertemu masa lalu?
Beberapa kali Laila menepuk pipi yang sekarang sudah berubah menjadi merah merona.

"Siapapun, tolong katakan ini mimpi!" Ucapnya sembari menyandarkan tubuhnya pada tihang penyangga.

Laila berbalik dan matanya mendapati Fathur yang sedang mematung.

"Ka Fathur." Panggilnya dengan suara di iringi tangis.

"Kamu kenapa? Duduk di sini." Fathur adalah seseorang mampu mengerti Laila, pertama kali Laila menapakan kakinya ke Pesantren, Fathurlah yang membantu Laila bersosialisasi dengan anak lainnya.

"Ka, jangan bilang dia adalah Tsabit Anggara?" Tanya Laila terburu-buru.

"Duduk dulu, kamu harus tenang!"

Laila menuruti perintah Fathur.

"Ka, aku harus pergi kemana lagi?" Laila menatap tanah yang kini sudah basah karena hujan.

"Dia yang selama ini kamu hindari? Mengasingkan diri dan.. kamu berniat mengubah nama panggilan?" Laila mengangguk pelan.

"Masalah tak akan selesai jika terus di hindari Laila. Apalagi yang kou hindari berniat mencari?"

DEG.
Jantungnya berdetak hebat. Apakah ini akibat hujan? Bukan. Ini akibat kata-kata Fathur. Kenapa dia tau? Kenapa dia mencari? Apakah dia seorang pedendam? Tidaaakk. Tsabit itu pemuda baik hati. Aduh, apa-apaan ini, harusnya Laila bisa melupakannya bukan mencoba mengingat nya.

Wajahnya pucat, ini bukan pucat karena kedinginan tapi semacam ketakutan.

"Ka, aku boleh minta tolong?" Laila memejamkan mata lalu menangkupkan kedua jarinya.

Fathur mengangguk.

"Jika dia bertanya tentangku, kaka cukup menjawab bahwa aku Laila bukan Carla. Ku mohon, lupakan pikiran tentang Carla. Aku ingin hidup tenang."

Laila percaya, jika semua menutupi namanya atas Laila. Mereka tak akan mengetahui nya.
Carla adalah gadis yang berpakaian mini, roknya hanya dua jengkal dari pinggang, pakaian ketat dan ber make-up.
Laila adalah gadis bergamis dengan ujung jilbab yang hampir menyamai roknya di masa lalu. Longgar dan natural.
Berbeda bukan? Ini yang akan membuat Laila percaya diri, ketika bertemu dengan dua mata itu.

"Justru kamu tidak akan tenang jika terus seperti ini.... tapi___ apapun yang terbaik untuk mu. Aku setuju."

Laila kembali dengan senyum mengambang. Matanya menyipit, bibirnya terbuka dengan menampilkan barisan gigi putih miliknya.
Fathur yang sejak itu melihat Laila. Mengusap wajah gusar, beristigfar. Tak mau pikirannya terisi hanya tentang Laila, jika Laila sudah begini bukan kata cantik lagi untuk menggambarkan gadis itu. Tapi, sempurna.

***

Setelah kejadian tadi sore, Laila menyepi sendiri. Kini, Laila bisa leluasa untuk menghirup oksigen karena Tsabit telah raib pada atap rumah sakit yang sama dengannya. Fatimah dan Fathur pun telah kembali karena ada beberapa urusan. Sedangkan Laila yang memilih duduk di sebuah ruangan yang terisi hanya Bintang dan dirinya.

"Ka Lail kenapa gak pulang aja? Kasian nungguin Bintang di sini."

"Bintang kenapa ngomong gitu? Kaka senang ko bisa sama Bintang. Tiduryaa, biar besok bisa segera pulang." Tangan Laila merayap hingga pada puncak kepala Bintang. Mengusapnya dan di hadiahi anggukan Bintang.

MALAM YANG (tak) MERINDUKAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang