Prolog

108 11 10
                                    

Semesta selalu memiliki cara untuk megubah siklus kehidupan. Dan kita tidak bisa campur tangan akan hal tersebut.

Lagi pula, kita hanyalah bidak catur,  yang berlari di atas papan yang semesta ciptakan untuk kita.

Ada kalanya semesta berpihak pada kita. Tetapi tak jarang kita dibuang dan diasingkan dari papan catur kita sendiri. Dipaksa merasa atas luka dan pengkhianatan.

Juga akan ada masa saat kita bahkan tak pantas untuk menjejakkan kaki pada papan catur.

Namun, jika ingin tetap melakukannya, maka ada harga yang harus dibayar.

Dan itu tidaklah murah.


Dahulu kala, ada negeri yang begitu angkuh dan kejam, terlalu serakah untuk menguasai papan catur.

Maka, semesta menghukumnya.

Karena peristiwa itu, ada insan yang marah kepada semesta, menuntut keadilan.

Alhasil, dengan setengah sudi semesta mengabulkan permintaannya.

Dijadikanlah Nusantara kembali, menjadi kesatuan yang begitu adikuasa, disegani seantero dunia, berada di puncak tertinggi.

Namun, kekuatan itu dibangun dari kehancuran serta keangkuhan, berlandaskan amarah dan rasa benci, berdasarkan kedustaan yang rapuh.

Bagai kutukan dari semesta, kesatuan itu dibangun untuk dihancurkan dari dalam.

Berulang-ulang, tanpa pernah didengar permohonan ampun dari tiap rakyatnya.

Perang pun menyala, kerusuhan menghiasi sudut-sudut mayapada, pemberontakan bermunculan, serta pengkhianatan tanpa ujung.


Nusantara bangkit, hanya untuk menjemput ajalnya sendiri.


Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain memandangi kelamnya langit yang terbentang.

Karena sekali lagi, 

Kita hanyalah bidak catur yang menunggu giliran untuk dimainkan oleh takdir.


o0o

Nusantara kini menjadi adidaya.

Tanpa Batavia sang metroplis megah dan gemerlapan, atau monumen berhias api emas yang telah lenyap, atau bahkan gedung-gedung pencakar langit yang meraup langit penuh polusi milik Batavia yang kini telah tenggelam. Nusantara, kini dapat gagah berdiri dengan menggenggam kekuasaannya yang sejati. Nusantara tak lagi perlu berkecil hati. Nusantara kini kembali disegani oleh siapa pun, setelah berabad-abad dilupakan dan merangkak seperti negeri yang terbuang.

Nusantara kini menjadi adidaya!

Perang dunia ketiga telah membalik sejarah dunia—telah menggemparkan isi-isi buku sejarah lama yang sudah usang dan lapuk dimakan usia. Merombak semua dugaan para ahli. Dalam beberapa abad terakhir, kesetaraan lantaran menjadi panji di setiap belahan bumi yang semakin renta ini. Namun kesetaraan itu tetap mengacu pada satu kekuatan—Nusantara, kekuatan agung yang tak pernah lengah dan gentar, kekuatan yang semakin merayapi seluk-beluk dunia. Atau tepatnya, satu kekuatan yang bernaung pada Area Tujuh.

Kini, semuanya tak lagi sama seperti dulu.

Namun semua orang bahagia. Dengan adanya keselarasan yang terjadi maupun kesetaraan yang merata, kedamaian antar bangsa hampir bisa tercapai seutuhnya. Tentu saja kehidupan berlangsung dengan makmur. Tak ada kesenjangan sosial yang mendunia. Tak ada sebagian kecil yang tidak sejahtera. Semuanya sama. Semuanya rata.

Nyatanya, tidak semua orang di bumi dapat menerima sebuah keselarasan dunia. Nusantara bisa saja dalam keadaan terancam, karena di luar sana perlahan-lahan timbul sebuah rasa cemburu. Atau Nusantara justru bisa saja melangkahi samudera baru, karena di luar sana ada yang mulai serakah.

Mungkin mereka hanya belum tahu, bahwa mengusik Nusantara sama saja dengan menggilir keberuntungan dan memainkan jago merah paling panas dan ganas yang siap melahap bumi kapanpun—tak ada bedanya dengan membangunkan raksasa kuno yang terlelap.

o0o

Sesosok lelaki duduk bersila pada suatu ruangan remang, diterangi oleh sebuah lampu pijar yang terpatri pada salah langit ruangan sempit tersebut. Udara yang merambati rongga hidungnya basah dan amis, lantai di sekeliling tempat ia bersimpuh berhiaskan beberapa genangan air. Kedua mata maupun bibirnya tertutup rapat, seolah mengunci sebuah rahasia paling berharga yang pernah ada di muka bumi.

Dari luar jeruji, para penjaga bisa memerhatikan salah satu tahanan penjara itu sedang berdiam diri dalam duduknya—lelaki tersebut sedang bertapa.

Kedua tangan ia tumpukan pada masing-masing pahanya. Sementara matanya terpejam dan bibirnya mengatup rapat, dadanya yang telanjang itu kembang-kempis secara perlahan. Dalam diam, ia merasakan darahnya yang mendidih dan bergejolak di dalam tubuh. Saraf-sarafnya memaksa dan menjerit, meminta untuk segera dibebaskan—tetapi lelaki tersebut rupanya masih memiliki kontrol diri yang baik, tidak seperti apa yang orang-orang bicarakan di luar bui ini. Lelaki itu masih bergeming sejak beberapa bulan yang lalu dimasukkan ke dalam sel rendahan yang sekarang menjadi tempat singgahnya ini.

"Ah, sungguh tak terasa." Salah satu penjaga dengan seragam penjaga sel tahanan mendorong kereta makanan menyusuri lorong penjara. Semua sel tahanan yang ia lewati telah kosong melompong–entah mengapa–dan menyisakan tempat untuk Hanoma pada sel terakhir di ujung blok lorong. Paling gelap, paling dingin, paling tengah, dan paling sunyi–hingga suara si penjaga sel menggaung ke seluruh sisi. "Hanya tinggal beberapa minggu lagi, bukan?"

Air di gelas maupun tudung saji bergetar ketika kereta makanan melewati sisi lantai penjara yang tidak rata.

"Hei, Hanoma!" Penjaga sel lainnya yang berjalan lebih dulu dari si pembawa keranjang makanan kini berseru, "kau yakin tidak akan merindukan sel mungil milikmu ini?"

Suara tersebut menggaung, disusul oleh derai tawa menyesakkan dari kedua penjaga sel tersebut. Seolah penjara itu hanya milik mereka berdua, tak hentinya mereka mengolok satu-satunya tahanan yang berada di blok paling tengah dan terisolasi. Orang-orang bilang, Hanoma terlalu berbahaya–bisa berubah bentuk sesuai yang ia mau, bisa memanipulasi rasa takut seseorang, bisa membunuh hanya dengan menjentikkan satu jari–tetapi nyatanya, yang ia lakukan sejak dua puluh dua bulan yang lalu di bui ini hanyalah diam. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Hanoma ditempatkan di sini.

"Lagi pula kau ini konyol sekali!" Kedua penjaga masih bergurau. "Untuk apa memasukkan dirimu sendiri ke penjara?"

"Hanya karena kesalahan anak buahmu?"

"Dasar, ada-ada saja!" Salah satu penjaga menempatkan piring dan gelas pada tempat khusus yang menghubungkannya dengan tahanan. "Sok' jagoan kau ini?"

"Kalau ada anak buahku yang seperti itu," tanpa basa-basi, keduanya berbalik arah dan meninggalkan Hanoma sendiri lagi. "Justru dia yang akan kubuang!" Suara itu menggaung ke seluruh sisi, masih terdengar bahkan setelah keduanya berbelok.

Hanoma kini kembali sendiri, dengan sel-sel tahanan di sampingnya yang kosong melompong. Tidak ada yang tahu pasti mengapa isolasi seperti itu diperlukan untuk dirinya. Namun, dengan alasan itulah Hanoma diisolasi, bahkan pada tempat yang terisolasi dari kehidupan itu sendiri.

Nyatanya, semua orang hanya tidak tahu bahwa Hanoma sangat mengetahui semua hal.

🔱🔱🔱

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Distorsi (#1 Jelaga Khatulistiwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang