Sorot mata itu mengingatkan Mara pada kejadian dua minggu lalu. Persis sekali dengan milik Sabar yang melihat dirinya berciuman dengan lelaki lain di depan rumah. Ada api kemarahan membara di matanya. Saat itu dia baru sadar, lelaki yang selama ini dia hormati sebagai atasan istrinya, ternyata selingkuhan Mara.
"Maaf, Sayang. Ibu harus pergi. Kasihan Om Erwin, sudah nunggu lama di luar." Mara mengecup kening Cinta. Dia sengaja buru-buru untuk pergi, karena dadanya sudah terlalu sesak melihat air mata yang terus menetes di pipi putrinya. "Jaga ayah, ya …."
Geming di depan pintu, menghitung ayuanan kaki. Mencoba meraba tiap kata terucap dari bibir wanita yang telah melahirkannya berkolaborasi dengan bisu sang ayah.
Ada embun menggantung di mata berbulu lentik itu. Ulang tahun yang identik dengan pesta penuh kebahagiaan, kini beralih amarah, luka dan air mata.
Beberapa bulan telah berlalu. Seperti janji Mara, dia datang di hari Minggu. Namun tidak setiap hari. Berbagai alasan selalu dia berikan, dan kata maaf menjadi jurus andalan.
Sampai detik ini, Mara masih berusaha membujuk Cinta agar mengerti keadaan mereka yang harus berpisah. Mara lebih memilih berkhianat demi sebuah kehidupan yang sempurna, dan rela meninggalkan putrinya karena Erwin tidak mengizinkan Cinta tinggal bersama.
Namun kenyataannya, Cinta tetap tidak mengerti. Mengapa ibunya tidak tinggal bersama lagi, tidak seperti ibu milik Ayu teman sekolahnya.
"Ibu pulang, ya, Cinta. Minggu depan ibu dateng lagi jenguk Cinta," ujar Mara. Seperti biasa, selalu ada hadiah kecup dari ibu untuk anaknya, dan belaian lembut di rambutnya yang lebat. "Cinta enggak boleh sedih, Cinta harus kuat. Ingat pesan ibu, biarpun anak perempuan harus kuat dan enggak boleh 'gembeng! Sekolah yang rajin, ya."
Sekarang, Mara memeluk Cinta. Namun tidak ada balasan. Cinta terdiam. Dia hanya mengucap kata "Iya" sebagai jawaban pesan ibunya.
Matanya berkaca, tapi tatapan itu kosong. Apa yang dia inginkan ternyata berbeda dengan kemauan ibunya. Keluarga apa ini?
Kali ini mata Mara terasa berair, hingga merah. Bukan karena kelilipan, tapi melihat sikap Cinta yang tidak lagi merengek. Meminta dirinya untuk tetap tinggal seperti minggu-minggu sebelumnya.
Akhirnya Mara menghampiri Sabar yang sedang duduk di sebalah tongkatnya di kursi kayu tidak jauh dari mereka.
Mara meraih tangan bekas suami dan mengecupnya. Tidak lama. Hanya sedetik. Sekedar basa-basi. Terasa hambar, tidak seperti dulu.
Sedikit pun, Sabar tidak melihat ke arah Mara.
"Jaga Cinta, ya …," ujar Mara.
"Kamu lihat!" Telunjuk Sabar mengarah pada Cinta. Gadis cilik itu terlihat murung. Mencoret-coret buku gambarnya. "Tidak kamu suruh pun, aku akan menjaganya, merawatnya saat dia sakit, dan selalu ada di dekatnya. Seharusnya perkataanmu tadi itu untuk kamu sendiri!"
Mara tersentak. Dia termakan ucapannya sendiri.
"Hmmm … sudah malam, aku pergi."
#Lin
HK, 010917
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BATAS SUNYI
RomanceMara lebih memilih meninggalkan Sabar dan juga Cinta sang buah hatinya demi laki-laki yang tidak lain bosnya sendiri. Namun, terbesit penyesalan di hati setiap kali mengingat tatapan anaknya. Semenjak berpisah, Cinta di usianya yang baru 6 tahun, h...