SATU - GETTA SALAH SANGKA

45 7 20
                                    


Getta mengamati, dari jauh.

Getta memegang hidung, kedua bola matanya berputar jengah. Dia terus mengamati. Bibir tipis Nisa melengkung, ia sedang tersenyum. Poni lurus Nisa sesekali jatuh menutupi mata cokelatnya. Getta tersenyum tipis melihat ekspresi lucu wajah Nisa saat ini.

"Kak Alif ngajakin gue nonton ...."gumam Nisa dengan nada cemas.

Mendengar ucapan Nisa, Dea mengurungkan niat menyeruput es melonnya. "Apa kata lo, Kak Alif nembak lo?!" kata Dea mengulang ucapan Nisa dengan suara toa dan ternyata salah!

Suara toa Dea sampai ke telinga Getta. Alis Getta mengkerut, jelas ia shock. Jika benar Alif menyatakan cinta pada Nisa. Ia jelas telah kalah cepat dari  Alif yang belakangan ini deketin Nisa secara terang-terangan. Alif kakak kelasnya yang jago karate. Getta berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan kantin dengan perasaan berdebar di dalam dadanya.

Nisa bergidik ngeri melihat tatapan anak-anak yang ada di sana, tatapan sinis dan penuh rasa penasaran ke arah mereka. Sial, Dea memang bener-bener, deh!!

Nisa menepuk jidatnya pelan, hitungan tiga detik ia menghela napas panjang. "Kapan sih terakhir lo korek kuping?!" geram Nisa. "Kak Alif ngajakin gue nonton bukan nembak gue!" Nisa mengulang ucapannya dengan penuh penekanan.

"Eh?"Dea jelas kaget, wajah putihnya berubah merah tomat. "Sori." kata Dea sambil nyengir tak enak hati dan menggaruk telinga kanannya.

"Dasar Dea Ongol!"cibir Nisa. "Cobaan gue berat banget, punya temen kayak lo!" dengan gerakan malas Nisa kembali menyantap mie gorengnya.

Dea mencubit pipi Nisa."Aw-Sori, sori, terus gimana?"tanya Dea antusias.Pemilik rambut pendek bob itu jelas penasaran tingkat dewa. Karena baru-baru ini kakak kelas kece jago karate itu terang-terangan deketin Nisa.

"Gue nggak mood lagi buat cerita!"

***

Getta gelisah, berulang kali ia mencoba fokus dengan bu Sania, guru bahasa Inggris yang tengah menjelaskan materi di papan tulis. Namun, sekuat apapun Getta berusaha fokus, ia tetap tidak bisa fokus. Ia mati kutu ditelan rasa penasaran."Lo nggak terima Alif, kan, Nis."gumam Getta dalam hati sambil melirik ke arah Nisa yang duduk di kolom pertama sejajar dengan meja guru.

Edo yang duduk satu meja dengan Getta, menyiku lengan Getta. "Stt," desisnya sampai berulang kali.

Getta diam, hanya jemari tangannya yang sesekali bekerja, mencatat materi yang bu Sania tulis.

Edo nyaris frustrasi melihat Getta yang tidak merespon. "Stt, Get. Pulang sekolah diajak anak-anak futsal."kata Edo pelan. Lagi-lagi Getta tidak merespon.

Getta sebenarnya mendengar desisan Edo dan merasa kesal setiap kali Edo menyiku lengannya. Ia memang sengaja pura-pura tidak tahu. Sampai jam pelajaran bu Sania selesai, Getta masih diam, waktu yang seharusnya ia pakai belajar lebih banyak dihabiskan menatap punggung Nisa.

Sebelum pak Adib masuk ke dalam kelas dan pelajaran terakhir dimulai. Edo menepuk pungung Getta dengan buku tulisnya. "Woi, cung! Lo kesambet, ya?!" katanya kesal.

Getta meringis, ia menoleh, mata cokelat Getta melebar. "Apa sih, Do?" katanya datar.

"Lo tadi sengaja pura-pura nggak denger gue ngomong, kan!?" kata Edo menyelidik.

Getta mengangkat bahunya acuh, "Gue nggak denger, emangnya lo ngomong apa?" kilah Getta balik bertanya.

Edo berdecak, "Nggak denger karena sibuk liatin si Nisa, betul?" timpal Edo pelan dengan kata terakhir terdengar lucu, mirip upin-ipin.

Untung saja mereka berdua duduk di meja paling pojok, jika ada jam kosong ruang kelas berubah jadi pasar kaki lima. Oleh karena itu, mungkin hanya Getta yang bisa mendengar suara Edo dengan jelas. Setidaknya, Getta bisa bersyukur untuk itu.

Kedua bola mata Getta melebar, "Jangan ngomong sembarangan lo!" ketusnya.

"Udah deh, lo nggak perlu bohong sama gue." Edo merangkul bahu Getta. "kalo lo suka bilang suka sama orangnya, sebelum gue duluan yang bilang suka sama Nisa." goda Edo.

Ck, sayangnya sebelum itu jadi kenyataan, udah ada orang lain yang duluan bilang suka sama Nisa!

Getta menjauhkan lengan Edo kasar,"Gue masih normal, please jaga sikap."ketusnya.

Edo tertawa, "Sialan lo, gue juga normal kali."

Getta kembali diam. Melihat ekspresi datar Getta, Edo mengikuti ekor mata Getta yang melirik Nisa. Edo geleng-geleng kepala. Hitungan tiga detik, Edo mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Getta. "Kedip woy!" tegurnya.

Lagi, Getta menjauhkan tangan Edo kasar. Getta mendesis, wajahnya terlihat masam. "Apa-an, sih!!" Getta bangun dari tempat duduknya, berjalan lurus ke depan, berbelok dan keluar dari dalam kelas.

"Ck, cinta bikin Getta gila!" umpat Edo.

Nisa yang tidak sengaja melihat Getta keluar dari dalam kelas, tertegun beberapa saat. Ia bingung sendiri. Entah, akhir-akhir ini sikap Getta berubah, biasanya Getta sering mengajaknya ngobrol bareng, apalagi jam istirahat. Sekedar membahas pr atau ngomongin film action yang sering di putar gratis di TV. Tetapi, sekarang, bahkan untuk bertegur sapa atau sekedar bertukar senyum pun sepertinya berat untuk mereka berdua lakukan. Padahal... diantara mereka tidak ada masalah, tetapi mereka seperti ada masalah besar diantara mereka berdua.

Nisa berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke luar kelas dengan segenggam kertas yang sengaja ia remuk-remukkan.

***

-Why do I keep running from the truth?
All I ever think about is you-

Jangan lupa votement ya.
Salam hangat.
21.09.17 Palembang.

[1] SPEAK UPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang