Matahari menggantung cahayanya dari tingkap kamar. Sedar sahaja daripada mimpi, semuanya terang; dengan segala hal menyesakkan. Di tempat kerja, semuanya jadi asing tak lagi tertemukan tawa dan keinginan untuk mendalami sesuatu. Bukankah hidup itu cuma untuk belajar dan terus belajar sebagai tanda yang hidup adalah hidup?
Aku mencapai motosikal menuju tahun baru. Di sepanjang jalan adalah resah yang tidak menentu. Malam nyata lebih terang daripada siang. Lebuhraya jadi tempat aku mengadu bersama lagu-lagu dan sajak patah hati di setiap tiang kutinggalkan. Dingin malam tak lagi dingin lebih dari wajah seorang kekasih. Entah kenapa kubiarkan cahaya lampu jalan dan angin kelam mengesat pipiku dengan perlahan.
Siapakah yang akan meluka sekali lagi?
Setibanya di kedai makan, segalanya jadi sunyi. Orang tak lagi berbual seperti biasanya biarpun mulut terkumat-kamit masing-masingnya. Aku terkepung dalam pandang sendiri; seperti saat pertamanya kita bertemu sebagai seorang kekasih. Di meja ini, kau menemaniku dalam senyuman, aku mengenangmu dalam kepasrahan.
Tahun tak lagi berdoa untuk manusia. Selain janji yang terhapus di dalam segelas teh tarik, impian juga melabuhkan tubuhnya di antara belai kepul asap rokok yang sedang memujuk hari-hari terakhir seorang kekasih.
YOU ARE READING
Dua Belas Bulan Sehari
AléatoireCerita pendek tentang perjalanan bulan dan bintang dalam sehari