Laras yang Lemot

182 18 5
                                    

"Laras emang cakep."

"Hmmm," responku menanggapi komentar Iko.

"Pantes lu suka mandangin dia lama-lama," tambahnya lagi ketika aku masih tidak mengalihkan pandanganku dari sosok cantik berjilbab putih, yang sedang bercanda dengan teman-temannya di pojok kantin.

"Yeaaah."

"Lu udah lama suka Laras kan? Sejak kita masih kelas XI?" Aku melirik Iko sekilas, enggan buka mulut untuk menjawab pertanyaan retorisnya, "Kenapa lu belum nembak dia sampai sekarang?"

Aku meringis mendengar pertanyaan terakhir Iko. Itu seperti membuka kembali luka lama, yang menjadi penyebab kenapa aku selalu migrain saat melihat ataupun berhadapan dengan sosok Laras.

"Gue udah pernah nembak dia sih," akuku pelan.

Iko menyeringai, "Dan lu ditolak gitu?" Godanya.

"Mmmm ...," Keningku berkerut mengingat kejadian masalalu, "nggak tahu," jawabku lesu ketika mengingat jawaban 'absurd' Laras ketika aku coba mengungkapkan perasaanku padanya beberapa minggu lalu.

"Maksud lu?" Tanya Iko tak mengerti.

Ingatanku melayang ke kejadian beberapa minggu lalu ....

***

Siang itu, setelah bel jam pelajaran terakhir berbunyi. Dan setelah memastikan kalau Madam Tri yang cakep, serta teman-temanku yang lain meninggalkan kelas, aku segera mengendap-endap ke kelas untuk  mengambil tasku agar bisa segera pulang. Tadi aku bolos di jam terakhir, dan kalau aku sampai ke-gep Madam Tri, dan diseret ke ruang BK ... Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada nyawaku. Karena kalau sampai orang rumah, terutama Papa, tahu kalau aku bolos ... nyawaku bisa melayang.

Oke back to story.

Tapi harapanku agar tidak ada yang memergoki kembali ke kelas sia-sia. Di dalam kelas, aku malah bertemu dengan gadis manis berjilbab, yang namanya Larasaty. Dia teman sekelasku. Anaknya kalem, manis, pintar, dan polos. Tapi saking polosnya si Laras ini sering dimanfaatkan dan dikerjai oleh teman-temannya yang lain. 

"Andra?" Laras melihatku terkejut, "Kamu belum pulang?"

Aku cengengesan, "Belum. Ini mau ngambil tas dulu baru pulang," sambil berjalan menuju bangku yang ada di pojok belakang kelas, lalu menyambar tas hitam yang ada di atasnya.

"Tadi kamu bolos kan? Waktu jamnya Madam Tri?"

"Iya."

"Kenapaaa?" Suara Laras naik satu oktaf. Dia terlihat kesal.

"Bosan," jawabku sekenanya.

"Nggak boleh gituuu!" Suara Laras naik beberapa oktaf lagi. Aku pikir sekarang dia benar-benar kesal, "Nggak boleh bosan di mata pelajaran yang kamu pelajari! Nanti kalau nilai rapot kamu rendah dan kamu kesulitan masuk perguruan tinggi gimana? Kasihan orang tua kamu!"

Aku cekikikan melihat kemarahannya. Laras sangat polos. Dia terlalu peduli pada teman-teman sekelasnya.

"Iya Dek, iyaaa. Abang janji nggak akan ngulangin kesalahan. Abang janji nggak akan bolos lagi," godaku sambil menaik-turunkan alis. Laras sangat menggemaskan kalau lagi marah, makannya (jangan bilang siapa-siapa ya?) aku naksir dia.

Bibirnya mengerucut, "Oke. Janjimu kupegang."

Aku meringis menatap Laras. Dia pasti tidak mengerti tentang 'kode' yang ada di balik godaanku tadi. Diakan rada ... lola.

"Belum pulang, Ras?" Tanyaku berbasa-basi.

"Belum. Nih masih nyapu, besok kan jadwalku buat jadi petugas kebersihan kelas." Dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda saat memarahiku tadi.

"Lho, kok kamu sendiri yang nyapu? Yang lain mana?"

"Nggak tahu. Mungkin udah pada pulang," jawab Laras kalem.

"Mau kubantu?" Tawarku. Berharap Laras mau menerima, dan kami bisa menghabiskan waktu berdua sedikit lebih lama.

"Nggak usah. Ini bentar lagi selesai."

"Oh," Penolakannya membuatku kecewa, "By the way, Ras kamu ada bawa motor nggak? Kalau nggak biar aku antarin kamu pulang." Tapi aku tak putus asa.

Laras terdiam sebentar, dalam hati aku berdoa ; "Ya Allah, mudah-mudahan Laras nggak bawa motor biar pedekate kami bisa lancar."
Tapi sepertinya Allah tidak akan mengabulkan doa jelek hambanya, karena Laras menjawab ....

"Makasih, tapi kamu pulang aja sendiri, Ndra. Aku ada bawa motor kok."

Anjiiirrrrr. 

Kecewa, aku kemudian berjalan menuju pintu dan bersiap untuk pulang. Berhenti sejenak, aku melirik Laras sambil berpikir, lalu aku memutuskan sesuatu.

"Ras, kamu pulangnya nanti hati-hati ya. Aku suka sama kamu, jadi aku nggak mau kamu kenapa-napa," Laras terdiam mendengar perkataanku--keningnya berkerut, "jangan lupa sampaiin salamku buat orang tuamu yang juga calon mertuaku."

"Oke," jawab Laras polos.

Heh? Dia bilang apa tadi? Oke?

"Nanti kusampaikan salammu buat orang tuaku yang juga calon mertuamu."

Yes! Yes! Yes! Ya ampun, apa artinya ini? Apa kami sudah resmi pacaran?

Ya Allah, aku benar-benar bahagia.

"Jadi kita ...."

"Tapi Ndra, tadi kamu bilang kalau orang tuaku itu calon mertuamu. Trus yang kamu suka itu siapa? Adikku? Apa Kakakku?"

Pertanyaan Laras seketika membuat kebahagiaanku hancur berkeping.

"Kakakku itu udah nikah Ndra, nggak boleh disukai. Istri orang tuh. Adikku juga masih SD, masih kecil."

Oh ya ampuuun.  Hiks, aku pengen nyekek orang sekarang. 

***

Iko tertawa geli mendengar ceritaku.

"Jadi sekarang hubungan kalian gimana?"

"Entahlah." Aku mengangkat bahu putus asa.

Galeri Patah Hati AndraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang