Antara Jenna, Laras, dan Mbak Sandra

191 12 1
                                    

"Ndra!"
Njirrr. Suara orang itu.
"Andra!" Pura-pura nggak dengar ah, nanti dia bakal makin seenaknya sama aku. Minta tolong ini-itu terus ninggalin. Cih! Emangnya akika ini apaan?
"Andraaaa, berhenti dong! Gue tahu lo pura-pura nggak dengar."
Aku menghela napas gusar mendengar teriakannya. Berhenti berjalan, aku kemudian menoleh ke belakang dan menatapnya cemberut.
"Apaan?" Tanyaku kesal.
Jenna, mantan pacarku yang menyebalkan, tampak tersenyum puas saat aku akhirnya mendengarkan panggilan dia.
"Antarin gue pulang dong." Nah, benarkan apa kataku? Nih cewek kalau ketemu aku, hobi banget nyuruh-nyuruh. Padahal status kami cuma mantan. Dasar kurang ajar!
"Sorry, nggak bisa. Gue pulang bareng Mbak Sandra," tolakku ogah menjadi ojeknya. Nanti, kalau aku mengantar Jenna pulang, anak-anak lain pasti akan berpikir kalau aku belum move on dari dia.
"Emang Mbak Sandra ngajar hari ini?" Jenna malah bertanya soal kakakku yang juga guru di sekolah kami.
"Iya," aku mengangguk, "gue ke ruangan guru dulu ya buat jemput dia."
"Tapi setelah Anter Mbak Sandra pulang, balik lagi ya buat jemput gue terus antar gue pulang," pintanya.
"Ogah!" Jawabku sambil berlalu.
"Andraaaa! Andraaaaa!"
Mengabaikan teriakan Lampir di belakangku.

***

Nungguin Mbak Sandra yang lagi rapat bareng guru-guru lain, berasa kayak nungguin Laras yang sampai sekarang nggak peka-peka sama perasaanku. Lamaaaa.
Itu yang guru-guru bahas di ruang guru itu apaan aja sih? Jadi penasaran. Tadi aku sempat intip-intip dan curi dengar sedikit depan pintu, katanya ada sekitar tiga atau empat hal yang mau dibahas, tapi ini sudah lebih dari tiga jam, pembahasan dan rapatnya masih belum selesai juga? Ampuuun. Padahal aku sudah lapar.

Mau pulang duluan takut si Mbakku ngamuk dan motong uang jajan. Mbak Sandra kan rada kejam kalau untuk urusan potong-memotong.

"Kalau tahu lama gini, mending gue pulang dulu tadi," gerutuku sebal sambil duduk manis di atas motor, yang kuparkir tak jauh dari ruang guru.
Aku melirik jam, dan sekarang sudah pukul dua liwat.
Mending pulang dulu dah. Kalau Mbak Sandra nelpon baru balik lagi.
Aku baru saja akan menghidupkan motorku, saat sebuah suara merdu yang familiar menegur.
"Andra?"
Bebeb Laras? Aku menoleh dan tersenyum manis melihat Laras yang berdiri tak jauh dariku. Dia mengenakan atribut OSIS, dan sepertinya baru selesai melakukan segala urusan yang berkaitan dengan organisasi sekolah itu.
"Hai Ras, abis rapat OSIS ya?" Lagi-lagi lagu lama. Aku memulai pembicaraan dengan basa-basi kecil.
"Iya, Ndra. Kamu ngapain disini? Belum pulang?"
"Nungguin Mbak Sandra."
"Oh." Laras mengangguk. Dia menatapku sebentar, terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.
"Laras kenapa?" Tanyaku, mempermudah Laras untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Kenapa apa?" Pertanyaan baliknya membuatku meringis.
"Kenapa belum pulang?" Aku menemukan pertanyaan yang tepat.
"Aku nggak bawa motor," jawabnya kalem.
"Kenapa nggak bawa motor?"
"Motor lagi di bengkel. Lagi rusak katanya."
"Kenapa bisa rusak?"
Laras menatapku dengan kening berkerut, "Kamu kepo!" Jawabnya ketus.
Aku cengengesan. Ya Allah, ini kepalaku kok mendadak migrain ya?
"Laras kenapa masih disini? Kok belum pulang?" Aku bertanya halus. Bukannya mau mengusir karena sudah tak sayang, bukaaaan. Aku masih sayang kok sama Laras, cuma ya ini perut udah lapar, aku sudah nggak punya tenaga buat ngadepin Laras dan segala pemikiran ajaibnya.
"Ini aku juga udah mau pulang! Kamu ngusir aku ya?!" Kesal Laras benar mengartikan maksud pertanyaanku.
Aku mendesah pasrah. Sabar, Ndra. Sabaar. Anggap saja ini cobaan.
"Nggak ngusir kok, Ras. Aku cuma khawatir kamu kenapa-napa kalau kamu pulang telat. Nggak baik lho, anak perempuan telat pulang dari sekolah. Orangtua kamu nanti marah," nasihatku berasa seperti orang benar saja.
Laras terdiam, dia kemudian mengangguk. "Aku pulang dulu ya, Ndra," pamitnya.
"Hemm."
Baru beberapa meter Laras berjalan, dia kemudian putar-balik. Kembali menghampiriku.
"Ndra, antarin aku pulang ke rumah dong."
Heh?
"Jam segini udah nggak ada kendaraan lewat. Desa tempat tinggalku jauh, aku takut kenapa-napa kalau pulang sendiri," jelas Laras polos.
"Oh. Oke." Aku menghidupkan mesin motorku dengan tampang bingung.
Tumben-tumbenan Laras mau diantar pakai motor, biasanya kan dia paling anti kalau dibonceng cowok yang bukan muhrim. Bebebku ini kan calon bidadari surga yang alim.
"Ras?" Aku berbalik, menatap Laras bingung karena dia tidak kunjung naik ke atas boncengan motor. Ini anak benaran mau diantar apa nggak sih? "Kok nggak naik?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Galeri Patah Hati AndraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang