Apakah gue hadir ke pernikahan mereka? Of course, Iya.
Menghadiri pernikahan pasangan yang pura pura bahagia, pura pura saling mencintai satu sama lain.
Ini semua karena perjodohan dari neneknya Mark yang lagi sakit parah, au dah sinetron bener.
Sampai mata Mark melihat ke arah gue, wajahnya yang sedari tadi ditekuk dan muram tiba tiba berubah menjadi hangat dihiasi senyum di bibirnya.
Dari jauh bibirnya melafalkan sesuatu, "Gak apa-apa?"
Gue mengangguk sebagai jawaban.
Mark mengulum senyum, dan melafalkan satu kata,
"Saranghae."
Beberapa bulan berlalu, gue masih rutin ketemu sama Mark. "Mau ini dong, cheese bibimbap, corn dog, lotek, toppoki sama cimol bojot level 3. Lo?"
Gue menggeser menu ke sisi Mark, tapi dia malah sibuk sama ponselnya.
"Samain aja dah. Minumnya bajigur kaya biasa kan? Bentar ya pesen dulu," ucapnya yang gue angguki.
[@jae__]
gimana jadi minggu ini?You
jadi, ayok. dimana?
Selanjutnya mata gue memicing ke arah Mark, tangan kanannya penuh sama makanan, tapi matanya gak lepas dari hape di tangan satunya."Hapenya taro dulu astagaa,"
"Iya maaf," Mark nyimpen hapenya di meja, "Oh iya sayang,"
"Hm?"
"Kamu lagi gak deket sama siapa-siapa kan?"
"Enggak lah, ngapain." jawab gue ketus. "Tapi kita gak bisa kaya gini terus, takut ketauan juga. Gak lucu kalau gue viral dilabrak sebagai pelakor."
"I've a solution."
"Apa?"
"Mau kan jadi istri siri aku?"
Gue menaikkan alis tak percaya. Gak pernah sekalipun terlintas di benak gue untuk mikir kesana.
"Tapi,"
"...."
"Kamu harus ikut keyakinan aku."
Belum sempet gue jawab sebuah notifikasi dari salah satu ponsel diatas meja berbunyi, membuat mata gue membulat sempurna. Notif dari Haesun.
"Congrats Honey!" Gue meraih sumpit, menusuknya ke kuning telur setengah matang diatas bibimbap dan mengacak-acaknya dengan barbar, "You'll be a father!!!"
Udah kaya sinetron tv aja, bilangnya gak mau gak suka taunya bunting juga.
Astaga julid :)
Ditambah, terlalu banyak nightmare yang akan gue dapat, kalo gue mengiyakan nikah siri sama Mark. Gue kekeuh pengen nikah resmi, Mark bilang akan sangat mustahil kalau gue jadi istri keduanya.
Dan gue juga OGAH lah. Buat perempuan kan itu harga diri.
Mark bilang juga kalo nikah resmi, cerainya ribet pokoknya. Kaget dong gue? Nikah aja belom kok udah ngomongin perceraian?
"Anak dari Haesun kan cowok, aku pengen punya anak cewek dari kamu," pintanya.
Aduh, gue juga mau Mark gue jugaaa, batin gue menangis.
Tapi kasian lah anak gue kehilangan hak-haknya sebagai anak kalau gue nikah siri sama bapaknya. Gue menggeleng cepat, menghilangkan seluruh keresahan yang belum tentu terjadi.
ㅡxㅡ
Gak kerasa tiga bulan berlalu, gue jadi jarang ketemu sama Mark karena dia sibuk ngurusin orang hamil. Membuat gue cukup kesal, waktunya buat gue jadi gak ada sama sekali.
Bahkan baru mampir setengah jam langsung pulang lagi. Padahal belom ngapa ngapain :(
"Mark please, lo baru nyampe loh?" protes gue setelah Mark bergegas pergi.
"Haesun nelfon aku, sayang."
Kambuh dah kejulidan gue, "Caper banget jamet,"
"Sekali ini aja ya, lusa aku kesini lagi deh. Kita jalan." ujar Mark mengelus surai hitam gue.
"Lo ngomong gitu juga minggu lalu,"
Mark mendengus kasar setelah gue mendekap tubuhnya dan merengek seperti anak kecil, "GAK, GAK BOLEH PERGI. Pleaassee stay with me..."
Gue mendongak ㅡnempelin dagu ke dada Mark, "Kamu pilih Haesun atau aku?"
Mark menunduk lalu mengecup kening gue cukup lama. "Kamu,"
🎶c-c-chewing gum c-c-chewing gum....
"Mamah aku," respon Mark sambil mengangkat telepon setelah gue melemparkan death glare padanya.Mark berbincang cukup serius dan kembali dengan raut wajah kalut dan bingung. "Sayang, Haesun masuk ke rumah sakit jadi akuㅡ"
"Pergi aja." jawab gue sarkastik. "Temuin istri kamu."
Sejulid, sebangsat dan semarahnya gue, gak pernah gue berharap yang buruk atau ngedoain yang jelek jelek buat istrinya Mark atau pernikahan mereka.
Tapi untuk pertama kalinya, sisi busuk dalam diri gue keluar. Gue tertawa bahagia diatas penderitaan orang lain persis seperti pemeran antagonis dalam sinetron azab, setelah membaca pesan dari Mark.
Mark:
Haesun keguguran...