Saat aku kelas 2 Sekolah menengah hingga lulus, aku selalu menyukai "gadis sampul buku" itu. Nayla nama aslinya. Sedikit konyol memang dengan panggilan "gadis sampul buku". Tetapi alasan dibalik panggilannya memang cocok. Ia gadis cantik dengan dada rata yang selalu menutup dirinya. Keseharian - nya Di sekolah hampir dianggap aneh, namun itu yang membuatku tertarik, tepatnya aku dan lima teman - teman ku...
Tetapi sebelum itu aku akan menceritakan tentang hal kecil ini. Ia tak pernah makan sepanjang aku melihatnya. Maksudku, bukan hanya aku, semua yang mengenalnya tak pernah -atau lebih tepatnya jarang- melihatnya makan. Karena saat pertama kali ia makan, saat itu saat salah seorang teman sekelasku merayakan ulang tahun - nya Di kelas, Jere. Nama temanku yang ulang tahun itu. Ia menjahili seluruh penghuni kelas dengan krim kue nya. Ia mengoleskannya di pipiku. Aku menghindar, ia berlari senang kesana kemari, tertawa melihat teman - temannya yang wajahnya dipenuhi krim karena ulahnya. Sampai tiba lah saat Jere berhadapan dengan Nayla. Gadis sampul buku itu. Jere adalah perempuan periang yang terbuka, jika biasa - nya menghadapi seorang pendiam menjadi sangat canggung. Jere dengan senang dan wajah tidak berdosa nya melumuri wajah Nayla. Wajah cantik itu masih tetap cantik dan pucat saat Jere beranjak pergi kembali menjahili yang lain. Namun untuk yang kudengar pertama kalinya -Dan seluruh penghuni kelas juga-. Nayla menjerit. Melengking. Ia masih disana, duduk di bangku dekat jendela, posisinya pun tak berubah, masih tegak dan menatap kosong seperti yang selalu ia lakukan setiap hari Di sekolah, hanya bibirnya saja yang sedikit terbuka, gigi - gigi putihnya menyatu, sambil mengeluarkan suara yang memekikkan telinga.
Sekitar satu menit kejadian itu baru selesai, di susul keheningan seisi ruangan. Saat itu pembelajaran sekolah selesai. Kelas kelas lain sudah kosong. Sebagian besar murid sudah kembali ke rumah mereka masing masing. Jadi tak akan ada yang mengganggu aktivitas ini. Hari mulai sore. Kami masih terdiam. Membeku dengan keheningan yang menemani. Semua mata sempurna tertuju pada gadis sampul buku itu.
Ah. Apakah aku sudah memberi tahu mu? Sebelumnya bukan itu nama panggilannya. Bukan 'gadis sampul buku', tetapi 'gadis pita kuning'. Ia memang memakai pita kuning di lehernya, setiap saat. Bahkan ditanya guru pun ia menggeleng. Menjawab "ibuku memberikan ini tanpa memberi tahu alasannya."
Belakangan aku tahu, ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan dirinya.
Tadinya ia selayaknya gadis seperti Jere. Ceria dan terbuka, namun entah darimana panggilan 'gadis pita kuning' itu menyebar luas, sejak panggilan itu ditetapkan padanya, ia menjadi sangat - sangat pendiam. Soal makanan, saat masih ceria pun tak pernah ada yang melihatnya makan. Sejak itu panggilannya diganti menjadi 'gadis sampul buku'.
Ia semakin pendiam. Selayaknya mayat hidup.
.
Satu menit itu seperti berlalu begitu lama. Keheningan itu masih ada. Gadis itu, Nayla, mengeluarkan lidahnya. Gila! Lidahnya menyapu habis semua krim yang bahkan terdapat pada jidatnya. Panjang sekali lidahnya itu! Setelah habis krim nya, dengan wajah basah oleh lendir sendiri, Nayla menangis, bersedu sedan.
Itu pertama kali kami melihatnya makan. Meski tak resmi disebut makan juga.
Dan tentu. Cerita tentang berapa cm panjang lidah Nayla itu menggema berminggu minggu.
.
Namun aku menjadi semakin dan semakin tertarik padanya. Teman - teman ku menggoda. Bertaruh, siapa yang akan mendapatkan Nayla duluan. Kami berlima sepakat. Berlomba mendapatkan Nayla.
Aku menyesal mengikuti permainan itu.
**
Setelah berbulan bulan. Akhirnya aku yang memenangkan permainan ini. Kami telah lulus SMP. Nayla? Dia menjadi kekasihku sekarang. Dia tidak sependiam saat aku melihat dan mengamatinya Dikelas ketika SMP. Ia terbuka dan ceria padaku. Suatu saat aku memberanikan diri bertanya, mengapa ia selalu memakai pita kuningnya? Bahkan saat olahraga berenang sekali pun.
Ia mengernyit. Tersinggung? Entahlah, aku tak bisa membaca mimik wajahnya "Sudah kubilangkan? Ibu ku memberikan ini tanpa memberi tahu alasannya."
Aku ingin menanyakan bukankah ibunya telah meninggal sesaat setelah melahirkan dirinya? Bagaimana pula ibunya sempat memasangkan pita itu. Nyaris aku tanyakan saat sepersekian detik ia berkata, "suatu saat akan kuberitahukan padamu kebenarannya. Bersabarlah."
Nah. Aku tahu ia berbohong tentang pita - nya.Dan aku terus menunggu.
Entahlah, tetapi pita itu memang benar - benar membuatku penasaran.
###
Dan permainan konyol saat SMP itu membawa aku dan Nayla ke pelaminan. Kami akan menikah. Aku bahkan lupa tentang permainan yang dibuat kami saat SMP. Banyak sekali undangan yang hadir, aku sedikit terkejut mengetahui tak ada tamu undangan dari keluarga Nayla. Satu kepala pun tak ada. Namun melihat Nayla bahagia, tersenyum dan terus berterima kasih padaku membuatku abai tentang hal itu. Dan mendorongku bertanya tentang pita kuningnya. Namun lagi lagi ia menjawab.
"Sebentar lagi. Bersabarlah sebentar lagi."
Dan aku kembali menunggu.
###
Kami dikaruniai dua anak lelaki. Mark dan Nuck. Kembar. Kakaknya, Mark berusia lima tahun dan Nuck tiga tahun. Entahlah bagaimana mereka bisa kembar. Aku tak peduli. Karena yang kini ada di pikiranku adalah mengapa sikap tetanggaku aneh aneh. Lebih tepatnya saat mereka menatap rumahku.
Pernah saat itu aku sedang bermain dengan kedua anakku. Salah satu tetangga yang lewat menatap bingung. Sama sekali tidak menyapaku. Anehkah saat seorang ayah bermain dengan anaknya? Masa bodoh. Aku tak peduli.
##
Enam tahun pernikahan kami, Nayla jatuh sakit. Ia menolak saat aku berniat membawanya kerumah sakit.
Saat itulah aku mengetahui kenyataan pahit itu.
"Kau telah menunggu begitu lama dany."
Sudahkah aku memberitahumu? Namaku Dany.
"Tentang apa?"
"Saatnya kau mengetahui tentang pita kuning ini."
Aku sudah lupa tentang permainan konyol atau pita itu. Tetapi aku sedikit antusias, memang.
"Kalau begitu, ceritakanlah sayang" Aku menyembunyikan raut antusias.
"Aku tak perlu bercerita, memang tak ada yang ku sembunyikan. Kau hanya perlu membuka pita ini."
Nayla bangun dari tempat tidurnya. Hei! Dia jauh dari sehat! Dia berbohong tentang penyakitnya.Entah mengapa dadaku berdesir.
Ia memegang tanganku.
"buka pitaku, sayang."
Dengan nafas tak beraturan, dengan tangan penuh keringat dingin. Aku membuka pita kuning itu, bersamaan setelah pita itu sepenuhnya berada pada tanganku. Kepala Nayla menggelinding.
Anak - anakku datang diwaktu bersamaan.
Aku tergugu. Tak tahu harus berbuat apa. Berteriak layaknya perempuan.
Namun reaksi anak anakku sungguh diluar dugaan.
Dengan senang hati menggandeng tangan ibunya keluar rumah. Ya. IBUNYA YANG TANPA KEPALA! darah dari leher Nayla bercucuran. Anak - anakku? Seakan tak peduli.
Aku terpekur. Duduk dengan air mata. Pandanganku buram. Mau lari saja berat sekali rasanya. Perlahan kesadaranku mulai hilang. Aku pingsan.
###
Saat terbangun. Para tetangga mengelilingiku. Kini aku berada Di halaman rumahku. Setelah benar benar pulih. Aku mencari anak anakku. Menanyakan dimanakah mereka? Namun respon itu membuat hatiku ciut.
"Hei. Menikah saja kau belum. Dany"
"Anak siapa pula yang kau bicarakan?"
"Dia butuh banyak istirahat. Tenanglah, ibu, bapak."
###
Hingga kini. 'Nayla' sering mengunjungi rumahku dengan 'anak anak ku'.
Tanpa kepalanya.
Pesan dariku : JANGAN PERNAH MENIKAH DENGAN GADIS DENGAN PITA DI LEHERNYA. WARNA APAPUN PITA NYA! JANGAN PERNAH!
Aku selalu dihantui. Tolonglah aku. Bagaimanapun caranya.
Atau aku yang akan menghantuimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bedtime Story
HorrorAku suka bercerita. Dan akan lebih baik kau membaca ceritaku dimalam hari untuk pengantar tidurmu. Siapa yang tahu tidurmu akan lebih nyenyak dengan ceritaku.