Lima : Likantropi (2)

29 1 0
                                    

NB : Baca nya pelan pelan aja, resapi dulu, Supaya ngarti.

Aku tak tahu harus merasa senang atau sedih, -atau bahkan sangat takut-. Ini seperti bukan aib, ini seperti kutukan untukku. Kujelaskan perlahan lahan.

****

Esoknya, aku -tanpa kusadari sendiri, menjauh dari Beatrice. Hei! Masih untung aku tak membenci dan membuka aibnya, karena penyakitnya dan penyakit yang di derita oleh diriku hampir sama namun bertolak belakang. Sama karena kami memiliki sikap abnormal dari penyakit kami. Ia seorang Likantropi! Astaga, Likantropi!

Mula nya aku tak terkejut, tak menangis, tentu saja, mana ku tahu apa itu Likantropi? Tetapi, ia menceritakannya dengan lancang sekali saat perjalanan pulang dari sekolah saat itu.

***

Beatrice menggaruk tengkuknya, kami sudah pulang sekolah. "Eh.. Aku bingung harus menjelaskan bagaimana, tetapi berjanjilah bahwa kau akan berjanji, May!"

Aku bergeming, bukan karena cara ia menjelaskannya sambil melotot, namun tak lain karena aku tak mengerti apa yang ia bicarakan, itu kata - kata pertamanya di perjalanan pulang kami.

"Berjanji untuk berjanji? Untuk apa? Maksudku, apa yang kau bicarakan?"

"Pikun, bodoh, ceroboh. Itulah dirimu, May! Aku selalu terheran bagaimana cara kita bisa berteman sangat baik mengingat kita benar benar bertolak belakang."

Aku tak tersinggung, Beatrice memang pedas lidahnya.

"Secara tak langsung, kau berkata bahwa seorang Beatrice itu pengingat handal, pintar, dan sangat teliti dalam segala halnya, begitukah?" Aku balas melotot, hanya bercanda.

Namun Beatrice tak acuh, melambaikan tangannya di depan wajah, ia berjalan sedikit cepat hingga posisiku ada di belakangnya, sepertinya ia sengaja melakukannya, sehingga aku tak berusaha mengsejajarkan langkah kaki ku.

"Kau tahu Likantropi? Sebuah penyakit." Ia melirik ku dari depan, aku hanya mengangkat bahu, "Entahlah."

"Mau kuberitahukan?" Ia melirik ku lagi, Aku kembali mengangkat bahu, "Terserah."

"Sepertinya kau benar - benar lupa kejadian sebelum pulang sekolah tadi,  ya?"

Aku kembali mengangkat bahu tanpa kata kata, ia terus bertanya pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya.

"Likantropi adalah sebuah penyakit yang-,"

"Aku tak tertarik, Beatrice. Buat apa pula aku tahu?"

Setelah mengatakannya aku sedikit menyesal, melihat wajah Beatrice berubah memerah, He? Ia marah hanya karena hal ini? Aku tergesa mengangguk, baiklah, apa salahnya mendengarkan?

"Gejala kekacauan mental, penderita merasa dan berprilaku seperti serigala, mempunyai hasrat untuk makan daging sesama manusia. Itulah Likantropi."

Aku mengangkat sebelah alis. Baiklah baiklah! Aku tak mengerti dan kau boleh beranggapan aku sangat bodoh.

"Kemarilah, sejajarkan langkahmu." Beatrice menoleh kearah ku, gaya nya sudah seperti orang dewasa saja. Namun aku menurut.

"Likantropi adalah sebuah gejala kekacauan mental yang membuat penderitanya mempunyai hasrat untuk makan daging sesama manusia."

Aku mengerut, "Berarti penderitanya manusia?"

Ia menatapku gemas, "May! Tentu saja sayang," Tersenyum kecut, "Dan orang yang kini bersama mu menderita penyakit itu."

Aku tertawa, tak lain karena hidup ini tak lebih dari sekadar lelucon.

Aku tak menertawakan Beatrice meskipun mungkin ia berfikir begitu. Aku tahu ia tak berbohong, aku juga tahu penyakit itu. Benar, dari semua nya aku benar benar tahu.

"Jadi," Melihat aku hanya tertawa, ia melanjutkan, "Sesuatu yang kau kira saus pasta itu," Beatrice berdeham.

"Aku tahu. Tak perlu dijelaskan."

Tentu saja aku tahu, bahkan ia mengatakan ia tidak suka makanannya di bagian rambut.
Bola mata, rambut, saus pasta. Itu semua cukup untuk ku mengetahui nya. Lihatlah, May tidak sebodoh yang Beatrice kira.

Karena, aku tak lebih normal dari Beatrice.

Percakapan itu putus, entah apa ada sesuatu yang mengganggu nya, -biasanya seseorang dengan penyakit abnormal begitu memang sering terganggu tanpa sebab.- Beatrice melarikan diri dari kata kata nya dan diriku sendirian, ia berlari dengan mata berair. Aku sedikit tak tega, aku tahu ia memakan manusia bukan atas kendali nya. Oh lihatlah betapa ia begitu tersiksa. Tetapi seharusnya aku juga berkata jujur saat itu.

###

Esoknya Beatrice tak banyak bicara, hanya melirik ku dan tersenyum kikuk, persis seperti satu tahun lalu saat ia masih menjadi anak baru di sekolah ini. Namun kadang aku berfikir, apakah itu cara agar Beatrice menjauh dariku? Mungkin saja ia tak suka padaku. Terlalu banyak sifat manusia di dunia ini dan aku tak benar benar mengetahui apakah Beatrice menyukai ku sebagai temannya. Jadi bisa saja ia mencari sebuah penyakit di internet, membuat sebuah sandiwara di satu siang dimana aku akan mencari nya seperti kemarin siang itu. Mungkin saja ia ingin menjauhi ku secara halus  bukan? Namun aku tak punya bukti dan pikiran ku terlalu tak tentu arah, otakku panas. Maka aku harus mencari tahu sendiri. Aku harus membuktikan ucapan dirinya dengan mata kepalaku. Maka kuputuskan mengikuti nya saat jam istirahat,
-Tentu tanpa sepengetahuan dirinya-

Hingga saat ini, dari saat itu aku percaya. Beatrice tidak pernah berbohong.

Bedtime Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang