Likantropi (3)

36 1 0
                                    

Aku segera berlari saat bel istirahat berdentang, sebenarnya lari dengan diam dan hati hati agar tak ada yang tahu. Jarakku dengan Beatrice kira kira 4 meter dan itu cukup dengan sedikit sembunyi sembunyi -Uh, mungkin banyak sembunyi sembunyi. Ia kembali berjalan ke arah pembuangan itu. Nah ini dia, Beatrice berjongkok membenarkan tali sepatunya yang sebenarnya rapi hanya untuk alibi agar ia bisa menengok kanan dan kiri. Melihat tak ada yang mengikuti nya dari pandangan matanya, ia kembali berjalan ke arah pembuangan. Dari situ ia berbelok dan aku tak bisa melihat lagi sosoknya.

Aku hendak mendekati nya dengan masih menyembunyikan keberadaanku saat Rinka, salah satu teman kelasku juga menuju arah pembuangan, kubiarkan ia melenggang dan saat sosoknya juga menghilang dari belokan, aku mendekat dengan hati hati. Samar kudengar Suara parau Beatrice dan Rinka bertemu.

"Apa kau menunggu lama? Maafkan aku, nah," Rinka memberi sesuatu pada Beatrice, mungkin buku bacaan, entahlah, jenisnya kotak dan datar, mataku tak bisa melihatnya dengan jelas.

Beatrice mengambil buku, tidak, ia menarik tangan Rinka, mendekatkan tubuhnya, men-Hah? Mencium bibir Rinka! Atau apakah aku terlalu berlebihan? Umurku 13 tahun dengan pemandangan yang tak pernah kulihat dan terlalu vulgar -Dua orang perempuan yang berciuman-. Aku mundur selangkah dengan tangan memegang tembok erat erat sambil menjaga persembunyian diriku. Beatrice mendorong Rinka hingga terjatuh, sesuatu seperti buku yang kini telah ada di tangan Beatrice ia jejalkan dengan paksa ke mulut Rinka yang bersusah payah menghindar dengan serangan fisik kecil pada Beatrice.
Beatrice mendengus, matanya berair, merah, Mulutnya mengeluarkan banyak cairan, "Rhiii.." Ia menghantam hantamkan buku itu ke mulut Rinka. Aku bingung harus apa, melihat Wajah Beatrice membuat nyaliku ciut, namun Rinka kesakitan. Aku tak bisa berdiam diri, maka sepersekian detik aku berlari ke ruang guru, mengetuk pintu nya.
"A-anu, Guru El," Aku mengatur nafas, "Ada keributan dekat pembuangan yang harus segera di selesai kan!".

Maaf Beatrice, kau harus kelaparan hingga siang.

...

Penderita Likantropi memang ganas dan benar benar seperti serigala saat korbannya telah terjatuh, itu sama seperti kau melihat makanan favoritmu telah tersuguh didepan mu dengan menggiurkan. Sementara penderita Nekrofili seperti melihat binatang peliharaannya saat melihat mayat, saat kau melihat anjingmu disiksa oleh seseorang dengan kejamnya, dan kau hanya berdiam diri aku tak akan melakukan  seperti itu, membuatku muak.

Dan aku, seorang Nekrofili.

Rinka memang bukan mayat, namun cepat atau lambat Beatrice akan mengabulkan khayalan liarku tentang Rinka dengan bola mata telah berada di mulut Beatrice, bagiku mayat adalah harta berharga dengan nilai tinggi, mayat adalah sesuatu yang indah dengan kehampaan didalam nya, mayat begitu kontras dengan dunia ini, mayat adalah kekosongan, ketentraman, kesendirian. Seperti diriku, dan aku tak suka jika mereka merusak peliharaanku. Bahkan mungkin Beatrice.

Dan kisah ini baru saja dimulai.

..

"Dimana keributan-," Guru El berhenti menengok dan berkata panik setelah melihat setumpuk rambut dengan cairan merah kental disekelilingnya tersuguh di depannya. Kami telah sampai di pembuangan namun tak menemukan keberadaan Beatrice atau Rinka. Namun sepertinya aku tahu siapa pemilik rambut dan cairan kental merah itu. Guru El menghampiri dengan hati hati, menatap nanar pemandangan di depannya. Mata bulat nya berkaca kaca, mulut nya yang ia buka lebar tertutupi kedua lengannya, menggeleng tak percaya tatkala menemukan seonggok daging dekat rambut itu. Ah, Rinka yang malang.

.
Di jam sekolah. Saat istirahat ke dua. Aku kembali menemukan Rinka keesokan harinya. Ralat, aku menemukan kepala Rinka ke esokan harinya, masih di pembuangan, dengan keadaan -maaf- sedang dilumat lumat oleh Beatrice. Teman dekatku itu memangku kepala Rinka dengan pandangan bahagia, dengan posisi duduk, lalu berdiri, bermain dengan darah yang mengendap, seperti seorang anak kecil bermain lumpur, hingga kemudian duduk lagi, kepala Rinka senantiasa menempel dengan kedua tangannya, sesekali Beatrice menjilat kedua mata nya seperti permen, Urat urat merah muda nya Beatrice sedot seperti mie instan. Itu tampak lezat jika dilihat dengan pandangan memakan mie instan. Nyatanya aku mulai mual.

Aku masih di posisi kemarin, menengok perlahan dengan bergeming, namun aku juga sakit hati saat peliharaan ku, atau mungkin, sesuatu yang kau sukai sedang di jilat oleh orang lain. Aku benci itu. Maka, aku menghampiri Beatrice, ia terlihat kaget, matanya menatap kosong, tertuju kearahku, mulutnya membuka lebar, air liur bercampur darah menetas dari sudutnya, ia memiliki gigi taring yang sedikit lebih panjang dari umumnya.
Ia menangis melihatku, berkata lirih, "Ma, maaf." Melemparkan kepala Rinka pada lenganku yang kusambut dengan pelukan. Ya aku memeluk kepala itu, aku sayang kepala itu! Aku sayang apapun tentang mayat. Aku mencintainya. Apapun tentang orang mati. Aku mendapati diriku menangis dengan memeluk kepala Rinka. Sedangkan Beatrice meninju ninju tanah yang terdapat endapan darah diatasnya. Ia menangis, dengan gaya tengkurap ia menjilat endapan darah itu, aku tahu ia lapar. Tapi aku tak mau memberi kan ia kepala Rinka - ku.

Disinilah kami berdua,
Dua orang teman yang tersiksa dengan penyakit berbeda dan bertolak belakang. Penyakit yang membuat kami menginginkan lebih baik mati.

Namun tuhan menciptakan manusia bukan tanpa alasan.

TBC.
。Dah lama gak up sekali up dikit maaf ya🙏 Jangan lupa vote dan comment ^^ minggu depan dua bab dah✌

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bedtime Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang