i. kau, malam, dan hujan

626 97 18
                                    

Kau mengenalkanku pada Buzz Aldrin, tapi tidak dengan namamu.

.

Awan kelabu bergelung di angkasa dan Taehyung memutar-mutar stik drumnya di sela jemari. Rintik hujan telah menyentuh bumi ketika seorang wanita yang memiliki rambut coklat datang berteduh di sampingnya, di bawah kanopi toko yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan ini adalah penghujung musim gugur, akan tetapi wanita itu menggunakan pakaian yang membuatnya menggigil kedinginan: sebuah gaun biru ketat yang hanya mampu menutupi setengah pahanya yang kemudian ditimpa mantel coklat yang panjangnya tidak lebih dari gaun tersebut.

Wanita itu mengeluarkan sebatang rokok dari kantong mantelnya, lalu menjepitnya dengan bibir yang telah diberi pewarna merah menyala sebelum membakarnya dengan pemantik api. Ia mengisapnya hanya untuk mengembuskan asapnya ke udara.

Dengan gaun pendek, lipstick merah, dan rokok yang terselip dibibirnya (Taehyung tidak mumungkiri bahwa wanita itu cantik dan seksi) sesuatu yang bagus tentangnya nihil ditemukan dalam kepala Taehyung.

"Kau mau?"

Taehyung terkejut ketika wanita itu melemparinya dua kata yang dibalut nada tanya sembari menyodorkan sebungkus rokok. Taehyung menjadi sadar bahwa sedari tadi ia menilai wanita itu tanpa berkedip. Wanita itu pasti merasakannya, oleh karena itu ia mencoba memutuskan pandangan Taehyung dengan bertanya sekedar sopan santun.

Taehyung menggeleng, berpura-pura tidak acuh walaupun malu mencumbu pipinya dengan  kentara sebelum menjawab, "Tidak, terima kasih." Lantas, mengalihkan pandangannya kembali pada jalan. Hujan semakin deras dan orang-orang semakin sibuk untuk menghindarinya.

Pemuda dengan stik drum itu selalu suka pada pemandangan di malam hari. Ketika kanvas alam menghitam, udara mendingin, kendaraan yang berlalu lalang, dan lampu-lampu dinyalakan; kuning, merah, dan lainnya. Ada sesuatu pada malam yang berhasil menyeretnya pada ketenangan, yang mengikis kegundahannya, yang membuatnya merasa lebih baik kala menatapnya. Ia selalu ingin melihat malam, tidak ingin pagi cepat datang, tidak ingin kembali ke rumah, apalagi saat mengingat bahwa satu-satunya yang akan ia dapatkan ketika sampai di sana adalah puluhan makian.

Ia mengembuskan napasnya keras-keras tanpa sadar; berusahan mengeluarkan keresahan yang bercampur dengan ketakutan yang menggumpal di dalam dirinya. Suara embusan napas Taehyung berhasil menarik perhatian wanita yang berteduh di sampingnya.

Dia mencabut rokok yang terapit di bibirnya hanya untuk berkata sambil melirik Taehyung sekilas, "Kau seperti memiliki banyak beban."

Taehyung balas melirik, setelah menghentikan gerakan memutar-mutar stik drum. "Kurasa setiap orang memiliki beban di hidupnya," balasnya.

"Kau benar." Wanita itu tersenyum tipis sekali seperti kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya.

Lantas mereka kembali mengisi menit-menit yang bergulir dengan kekosongan; tanpa susunan aksara yang dibagi, hanya suara rintik hujan yang menubruk permukaan bumi dan suara mesin kendaraan bermotor yang bersahutan.

Hari ini, Taehyung mengikuti olimpiade dan ia keluar sebagai juara dua. Meskipun Fisika bukan sesuatu yang ia suka (Taehyung lebih suka menabuh drum, ia suka bagaimana suaranya membuat bisingnya dunia tidak terdengar untuk sementara waktu), tapi tetap saja ada kekecewaan dan ketakutan yang bersarang di hatinya. Lagi pula, ibunya sangat membenci kekalahan, terlebih jika menjadi yang kedua karena itu sangat-sangat dekat dengan kemenangan. Ia akan memaki Taehyung dan mengungkit tentang mimpinya sebagai drumer adalah hal yang tidak berguna. Ia akan mengambil stik drumnya dan mematahkannya untuk kemudian dilemparkan tepat di wajahnya. Memikirkan hal tersebut, Taehyung benar-benar tidak ingin kembali ke rumah.

"Apa yang kau pikirkan tentang peringkat dua?" Taehyung mendadak menyuarakan pertanyaan. Wanita itu terkejut dan hampir menjatuhkan rokok yang hendak ia bakar lagi. "Kau mungkin berpikir peringkat dua berarti kau adalah orang pertama yang kalah." Taehyung kembali berkata dengan dengusan di ujung kalimat karena wanita di sampingnya tidak kunjung menjawab.

Wanita itu mengisap rokoknya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Aku berpikir menjadi juara kedua adalah hal yang tetap membanggakan dan terkadang itu lebih baik daripada menjadi yang pertama."

Bola mata Taehyung bergulir ke ujung, melirik wanita itu dengan kernyitan di keningnya yang menebal.

"Menjadi yang pertama terkadang memanjakan dirimu, pikiranmu, perasaanmu. Kau akan berpikir bahwa dirimu cukup baik dan kau menjadi serakah dengan pujian. Sementara menjadi yang kedua, kau dapat belajar dari kesalahanmu, kau dapat belajar kelemahan lawanmu, dan menjadikannya senjata. Tentu saja menjadi yang kedua juga berbahaya ketika kau tidak menggunakannya untuk belajar dan berimprovisasi karena jika begitu kau akan terus turun."

Taehyung pikir menjadi kedua lebih buruk dari itu. "Menurutku itu lebih buruk." Taehyung melemparkan pandangannya pada jalan seraya memasukan stik drumnya ke kantong jaket. "Orang-orang hanya mengingat siapa yang ada di peringkat pertama, tidak dengan peringkat kedua."

"Siapa bilang?"

"Seseorang yang kukenal." Taehyung enggan untuk mengatakan bahwa ibunyalah yang berpikir demikian, pun enggan mengakui bahwa ia sedikit setuju karena bagaimanapun yang paling ditakuti manusia adalah dilupakan.

Wanita itu kembali membuka suara setelah sebelumnya memberikan jeda sesaat pada percakapan mereka, "Kau tahu Buzz Aldrin?"

"Buzz Aldrin?"

"Dia orang kedua yang berjalan di bulan dan aku mengingatnya." Taehyung menoleh menatap wanita itu dari samping; hidungnya kecil, tapi mancung. "Memang tidak semua orang tahu dan mengingat siapa yang berada di posisi kedua, tapi begitu juga dengan yang pertama. Tidak semua orang tahu dan ingat bahwa Neil Armstrong adalah orang pertama yang menginjak bulan."

Kemudian wanita itu melemparkan rokoknya ke dalam genangan air. "Tidak selamanya menjadi yang pertama membuat orang-orang mengingatmu dan tetap tinggal di sampingmu," cicitnya. Nadanya terdengar getir dan indra visualnya menerawang langit hitam.

Taehyung lalu terdiam, mencerna setiap kalimat yang wanita itu katakan dan menyimpannya dalam kotak ingatan. Lalu ia hendak mengatakan sesuatu, tapi begitu ia kembali menoleh, wanita itu sudah menaikkan tudung mantelnya dan bersiap untuk pergi.

"Aku harus pergi," ujarnya, melajukan kaki menyeberangi jalan ke arah sebuah mobil sedan hitam yang berhenti.

Taehyung terkesiap, kemudian cepat-cepat berteriak di detik selanjutnya, "AKU KIM TAEHYUNG! SIAPA NAMAMU?"

Wanita itu tidak menjawab. Namun, demi melemparkan satu senyum yang menjadikan matanya melengkung bagai bulan sabit, ia menghentikan langkah dan memutar leher. Setelah itu, kembali berjalan menghampiri mobil hitam mengilat yang terparkir di seberang jalan.

Taehyung mendesah kecewa bersamaan dengan bahunya yang merosot, tetapi terus memerhatikannya; bagaimana wanita itu membuka pintu mobil dan tersenyum kepada seseorang yang ada di dalam. Namun, senyum itu berbeda, tidak seperti yang ia berikan kepadanya. Senyum kali ini terlihat lebih pendek, pun tidak membuat matanya menyipit. Taehyung terus memerhatikannya; bagaimana wanita itu masuk ke dalam mobil dan kemudian dibawa pergi.

Taehyung tetap tinggal di bawah kanopi itu selama beberapa waktu seraya memerhatikan tetes hujan yang perlahan menipis. Sudut bibirnya naik sedikit saat ia mengingat percakapannya bersama wanita bergaun biru tadi.

Hujan di malam hari ini mengantarkan Taehyung bersandar pada sebuah toko usang berkanopi bersama seorang wanita bergaun biru yang mengenalkannya pada Buzz Aldrin; menjadi yang kedua itu tidak apa-apa.

Kini di dalam kepala Taehyung, ada sesuatu yang bagus tentang wanita itu dan jika mereka memiliki kesempatan untuk kembali bertemu, ia akan memastikan untuk mendapatkan namanya.

.

[edited  10/9/2019]

SenyampangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang