"Kamu masuk ke kelas sebelas IPS 1, La." kata kak Franco sambil menatapku.
"Iya, aku tau."
"Jangan nakal."
"Enggak kok."
"Nggak boleh tebar pesona."
"Emang aku perempuan apaan?"
"Harus pinter cari temen, yang jahat jangan ditemenin."
"Pastinya."
Kak Franco mematikan AC mobil, habis itu, dia meletakkan iPhone nya ke atas dashboard.
"Kalau dikelas kamu dimusuhin, bilang sama kakak, entar kakak bela kamu."
Aku ketawa, walaupun tidak bisa dikategorikan sebagai ketawa beneran, sih.
"Aku bukan anak mami lagi," sahutku.
"Emang bukan, kan mami udah nggak ada." jawaban kak Franco berhasil buat aku terdiam.
Aku tau pasti kak Franco kangen banget sama Mami, juga Papi yang belum lama meninggal. Aku nggak keberatan dengan skenario Tuhan, asalkan aku masih diberi kekuatan, aku pasti ikhlas. Ikhlas Nerima kenyataan kalau aku udah nggak punya kedua orang tua dan hidup bersama empat kakak laki-laki yang kelewat protektif.
"Udah, sana, masuk. Entar kak Dave yang jemput kamu." lanjut kak Franco, kayaknya kak Franco nggak mau buat aku teringat mami lagi.
"Siap, bos."
Aku keluar, habis itu, aku memberanikan diri masuk ke dalam sekolah baruku. Namanya, SMA Angkasa Jaya, itu di daerah Bandung. Aku memang baru pindah, awalnya aku sekolah di Jakarta, numpang dirumah Om Ridwan. Tapi gara-gara kak Franco naik jabatan di kantornya dan merasa udah cukup buat biayain adiknya sekolah, akhirnya aku pindah.
Kak Franco memang begitu, dari kecil dia yang selalu jagain aku kalau lagi di omelin Mami. Bukan kak Franco aja, kak Edgar, kak Alif, sama kak Dave juga gak kalah kerennya. Dari kecil, aku selalu di kekang sama mereka. Nggak boleh nakal, nggak boleh main sama sembarang cowok, sampai chatting sama cowok aja kadang-kadang aku suka di omelin, padahal cowok itu hanya bertanya soal PR. Yasudah, aku sih nggak masalah kalau dikekang begitu, asalkan kalau udah lulus sekolah nanti, aku dibebasin milih cowok yang aku suka. Soalnya, aku belum pernah ngerasain pacaran.
Kalau soal kak Edgar, dia masih anak kuliahan. Udah S2 dan ambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UNJ. Kalau kak Alif sih, udah kerja. Katanya, dia nggak mau kuliah, capek hati, capek otak, capek badan. Gitu. Nah, kalau kak Dave, sekarang dia kelas 12 di SMA Nusa Bangsa, nggak jauh-jauh banget sih dari SMA-ku yang sekarang. Aku bahagia kok punya kakak laki-laki seperti mereka, terlebih kak Franco yang kalau lagi marah gara-gara aku nggak nurut itu, antara bikin takut sama mau meluk.
Aku berjalan ke meja piket, disitu ada ibu-ibu berkerudung merah, lagi nyatet. Aku berdehem, soalnya aku bingung mau bagaimana lagi untuk menarik perhatiannya.
"Maaf, Bu. Bisa saya tau ruang kepala sekolah dimana?" kutanya.
Ibu guru itu cuma natap aku sebentar, tatapannya sih datar.
"Kamu yang namanya Cala Kamila?"
"Iya, Bu."
"Ayo, ikut ibu. Barusan pak Marhasan pergi, beliau suruh ibu buat tunjukkin di mana kelas kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CALA (Love you 'til I die)
Novela JuvenilNamanya, Kahvikry Rizkiandyfan Djajangkoesnandar. Tolong bilang padanya, aku membencinya. Tapi, nggak tau untuk hari besok. - Cala Kamila.