[ Bahasa baku ]
* * *
[ Seoul, Februari 1952 ]
Ini bukan bayangan mengenai hari cerah dan indah.
Dengan langit yang selalu dipenuhi kepungan asap tebal dan juga tidak lupa dengan desingan suara pesawat tempur, bisingnya ledakan bom atau bahkan letupan granat yang berkeliaran di sekitarmu.
Sesuatu hal yang semu pada saat masa peperangan adalah sebentuk kebahagiaan. Sebentuk harapan mungil, bahwa suatu hari nanti kau bisa berjalan dengan tegap, melangkah dengan pandangan lurus ke depan tanpa takut pada suatu benda metal kecil yang mungkin akan menembus lapisan kulitmu.
Ini bukanlah cerita pada masa ceria.
Ini, adalah suatu tragedi. Masa-masa kelam dari tiap bagian di belahan bumi, yang selalu dialami dan nantinya akan menjadi dongeng pengantar tidur bagi para generasi muda yang menikmatinya melalui bacaan semata, bukan kejadian nyata.
Jika kau berada pada masa ini. Maka kau pastinya akan selalu mengharapkan bahwa ini adalah mimpi. Mimpi buruk yang hanya akan datang di waktu tidur dan bertahan kurang dari sepuluh menit.
Tapi sayangnya, realita kejam terkadang tidak akan terjadi dalam mimpi. Karena kehidupan nyata adalah sesuatu yang lebih bengis dan kejam daripada suatu aksi kekanakan bernama mimpi buruk.
* * *
"Maafkan aku yang tidak bisa membencimu..." - Kim Namjoon
* * *
Kim Namjoon.
Bukanlah sosok rupawan dengan hidup aman di dalam benteng manusia yang melindunginya. Bukan pula sosok yang dipuja dan dielukan sebagai pahlawan atau yang sangatlah dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia.
Dia hanya bocah.
Bocah yang seharusnya masih berlindung di balik punggung ayahnya pada saat ledakan bom meledak di mana-mana.
Tapi sekali lagi, realita kadang lebih pahit daripada mimpi buruk.
Itu terjadi di suatu pagi, Namjoon lupa apa tepatnya yang menyebabkan ibunya membangunkannya dengan begitu panik. Seolah rumah mereka akan runtuh dalam hitungan detik sehingga ibunya butuh Namjoon untuk segera meninggalkan dunia kapas di alam mimpinya.
Namjoon tidak ingat banyak.
Kesadarannya bahkan masih separuh, dia baru saja terbangun dan ibunya sudah menariknya untuk meninggalkan rumah mereka. Ayahnya menggandeng tangan ibunya dan mereka berlarian menghindar dari sesuatu.
Namjoon tidak ingat banyak.
Tapi dia ingat bunyi letusan senapan dan juga desingan peluru di sekitarnya. Namjoon ingat dia mendengar jeritan seseorang yang begitu memilukan, suara tangis anak kecil, dan juga suara tubuh yang menghantam tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedari [BTS]
Historia CortaTaman /ta·man/ (n) 1 kebun yang ditanami dengan bunga-bunga dan sebagainya (tempat bersenang-senang); 2 tempat (yang menyenangkan dan sebagainya); 3 tempat duduk pengantin perempuan (yang dihiasi dengan bunga-bunga dan sebagainya). [One Shot-Two Sho...