Bagian 8

5.5K 377 4
                                    

Aku berlari menyusuri koridor istana utama dengan mengangkat sedikit pakaianku dan memegang wadah dengan erat, para dayang yang kulewati melempar dengan pandangan aneh dan berbisik-bisik. Biarlah itu nanti, yang utama saat ini bukanlah itu.

Aku menuju istana hitam. Aku sebenarnya dibebas tugaskan oleh paduka itu sendiri untuk melakukan pekerjaan lain karna ia akan meminum teh bersama penasehatnya. Itulah masalah utamanya. Aku baru mengingat racun yang dapat membunuh itu merupakan racun hamlock, racun itu berasal dari tengah hutan dihutan adres, ditempat paling lembab dan gelap. Racun itu hanya bisa dilarutkan bersama minuman yang berwarna, yaitu teh.

Jadi disinilah aku berdiri dengan terengah didepan pengawal istana hitam.
"Aku ingin membuang salah satu bunga pada vas paduka." Pengawal itu sepertinya terlihat tidak mempercayaiku. Pengawal ini bukanlah pengawal yang sering berjaga didepan istana hitam. Cepatlah!

"Hei Daam, biarkan dia masuk. Ia biasa melakukan pekerjaan itu." Ucapan pengawal yang berjaga disebelahnya akhirnya membuat pengawal itu mengangguk.

Aku kembali berlari, untungnya tadi aku sempat mengambil wadah bunga. Aku melewati perpustakaan, tempat kerja raja, dan berbelok kekanan sudut. Disanalah berdiri dua pengawal.

"Paduka tidak bisa diganggu saat ini. Kau bisa menemuinya setelah matahari terbenam." Maka rajamu itu akan mati terlebih dahulu.

"Paduka sendirilah yang memberiku perintah untuk menemuinya saat ia akan minum teh. Aku juga akan mengganti bunga."

"Tidak saat ini." Aku memejamkan mata, aku tau ini akan sia-sia.

Saat kau terdesak, gunakanlah suaramu nona. Ucapan paman beberapa tahun terakhir terngiang dikepalaku. Aku tau ini sangat bodoh tetapi aku tetap melakukannya.

"Aku mohon, bukakanlah pintu untukku." Ucapku dengan lembut memohon. Membuat dua pengawal itu menatapku dengan tajam lalu melembut. Mereka membuka pintu itu masih menatapku, seolah menunggu perintah.

Aku tidak mencerna itu karna aku lansung berlari masuk. Entah Yang Diatas merencanakan ini, tepat saat itulah paduka itu mengangkat gelasnya. Aku melempar wadah, berlari melintasi ruangan. Saat tiba didepannya aku segera menepis gelas itu dengan cepat. Gelas itu melayang kearah jendela dan jatuh. Bunyi gelas membentur lantailah yang menjadi musik dalam ruang peraduan paduka ini.

Suara jantungku yang bertalu-talu membuatku memegang ujung meja kecil, aku pening.

"Menurutmu apa yang sedang kau lakukan!" Aku tersentak, segera mengambil jarak mundur kebelakang dua langkah setelah mendengar ucapan bernada marah dan dingin disaat besamaan.

"A-aku-"

"Apa? Bicaralah dengan jelas. Sebelum aku memanggil algojo kemari." Aku seolah merasakan napasku ditarik dengan cepat.

"Paduka, teh itu telah diracuni."
Aku menghembuskan napas pelan.

"Darimana kau mengetahui hal itu?" Alden menatapku dengan tatapan tidak terbaca.

Aku menceritakan saat kejadian didapur tadi malam. Alden mengalihkan tatapannya kearah air teh yang telah tertumpah.
"Penasehat, panggilkan kedua pengawal diluar." Aku baru menyadari bahwa Alden sedang meminum teh dengan penasehatnya.

Penasehat itu berdiri dengan kaku dari kursinya, melihatku sekilas lalu berjalan kearah pintu.

"Jika kau berdusta, cambukan sepertinya tepat." Deg.

Penasehat berdiri disebelahku dengan membawa kedua pengawal yang berjaga.
"Kau. Minumlah ini." Alden menunjuk salah seorang pengawalnya. Aku terbelalak.

"Pa-paduka it-"

"Diam. Aku tidak menyuruhmu berbicara." Alden tidak melihatku saat mengatakan itu.

Pengawal itu mengerutkan kening, ia mengambil teh, lalu meminum teh itu. Aku memejamkan mata melihat itu.

"Kau lihat, tidak terjadi apapun. Pengawal bawa perempuan ini kelapangan prajurit." Aku membuka mata dengan cepat. Benar, pengawal itu tidak bereaksi apapun. Ia tidak lumpuh. Aku tidak mungkin semalam bermimpi.

Sebelum pengawal itu memegangku, aku maju lebih dahulu. Aku tau ini keputusan yang sangat hebat atau sangat bodoh. Tetapi aku mengambil salah satu gelas teh itu dan meminumnya.

Sesaat mata Alden itu melebar, tetapi kembali seperti biasa.
"Kau ti-" Aku dapat melihat mata Alden kembali melebar.

Aku merasakan semua menjadi berputar.Terdengar teriakan terkejut dan terkesiap tetapi aku tidak dapat melihat siapa itu. Aku merasakan kakiku terasa sangat lemas, perutku yang seperti diputar, badanku seperti tidak memiliki tulang, sakit. Sangat-sangat sakit sekali. Sakit yang sangat menusuk dijantungku, terakhir aku merasakan sebuah tangan menopang punggungku, lalu semuanya gelap.

Tiga hari terakhir aura kegelapanlah yang terasa oleh semua yang berada diistana saat ini. Mereka tau bahwa itu merupakan aura sang raja sendiri. Tetapi mereka tidak tau alasannya apa. Seolah-olah setiap sudut istana merasakan sebuah kekuatan tak kasat mata yang sangat gelap.

"Merin, dimana Amaira?" Lori bersandar pada salah satu pilar istana sambil menatap kepala dayang didepannya.

"Amaira pulang kekampung halamannya, keluarganya meninggal." Merin menjawab dengan murung.

"Ah, aku ikut berduka." Merin hanya mengangguk pelan.
Lori berharap Amaira tidak bersedih, ia juga berharap agar teman barunya itu cepat kembali keistana. Agar ia berdua menebak karna apa aura mengintimidasi ini.

Merin merenung dengan pelan, ia tentu tau aura kegelapan ini karena apa. Raja sedang murka. Raja terakhir kali murka menurut kabar yang beredar adalah tiga abad yang lalu. Raja murka disebabkan oleh racun hamlock. Racun yang tidak bisa dideteksi itu. Bahkan oleh dari kekuatan tertinggipun. Hanya saat dicicipi oleh seseoranglah racun itu bereaksi.

"Kepala dayang, kau dipanggil keruangan tabib." Salah seorang pengawal menghampiri Merin, Merin mengikuti pengawal itu.

Merin melewati taman-taman, ruangan tabib terletak disebelah kanan istana. Pepohonan yang merupakan beberapa obat menjadi penanda akan ruangan tabib.

Tepat dipintu, berdiri Alden dengan aura gelap yang pekat.
"Paduka ingin menemuimu." Merin mengangguk saat pelayan itu meninggalkannya.

Merin memberikan hormat. Belum sempat ia berkata, Alden terlebih dahulu berbicara.

"Bawa semua dayangmu kesini. Aku menunggu." Lalu Alden itu berbalik dan memasuki ruangan tabib. Bulu kuduk Merin kontan berdiri, apa yang akan dilakukan raja? Ia tidak mungkin membunuh semua dayang hanya demi seorang dayang bukan?

02 Oktober 2017

The Chander Kingdom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang