Bagian 9

5.4K 370 3
                                    

Lori menyeritkan dahinya kearah Merin seolah ingin bertanya. Merin meggeleng pelan. Dayang-dayang yang lain pun seperti ingin bertanya, tetapi mengurungkan niatnya, melihat wajah enggan Merin dan selusin pengawal yang berdiri dibelakangan mereka, mereka mengurungkan niatnya.

Sepertinya pertanyaan yang terpatri dibenak mereka terjawab. Raja mereka, Alden berjalan dengan jubah kebesarannya, yang semakin menambah aura kekuasaanya. Secara serempak mereka membungkukkan badan mereka.

"Berdirilah dengan tegak." Dingin. Tenang. Layaknya riak air yang tidak diketahui terdapat apa didalamnya. Suara Alden mampu membuat para dayang dengan cepat berdiri tetapi masih menunduk.

"Angkat kepala kalian. Tatap aku." Alden menarik sedikit sudut mulutnya. Terdengar suara kesakitan salah seorang dayang yang tadinya masih menunduk.

"Angkat." Barulah keseluruhan dayang mengangkat kepalanya. Lori memang merasa saat ini jantungnya berdegup karna takut. Tetapi walaupun dalam ketakukan, ia masih berdecak kagum, raja mereka sangatlah tampan.

"Kepala dayang, siapa saja yang bekerja didapur tiga hari yang lalu." Alden berjalan dengan menatap satu persatu dayang yang juga balas menatapnya. Alden menaikan sedikit alisnya. Wajah gemetar ketakutan, kekhawatiran, bahkan seakan menangis.

"Majulah kalian yang bekerja didapur." tujuh orang dayang maju dengan kepala yang sebisa mungkin mereka usahakan untuk tegak.

"Siapa diantara kalian yang membuat teh untukku?" Dua orang dayang maju lagi dengan badan yang sedikit bergetar.

"Siapa nama kalian berdua?" Alden berhenti diantara mereka berdua.

"Hamba Rena paduka."
"Hamba Wina paduka."
Suara bergetar Rena dan Wina membuat Alden terkekeh. Semua yang berada disana terkejut.

"Pengawal panggil Jier kemari." Jier merupakan orang yang akan memakai kekuatan ataupun mencicipi makanan atau minuman apapupun yang akan dimakan dan diminum oleh keluarga istana.

"Hamba menghadap paduka." Jier membungkuk dihadapan Alden.

"Berdirilah." Jier berdiri dengan menatap Alden.

"Apakah kau selalu menguji teh yang kuminum saat sore hari Jier?" Alden menatap penuh pertimbangan kearah Jier.

Dengan mantap Jier mengangguk dan berkata,
"Benar paduka. Saya selalu menguji teh yang akan diminum oleh paduka. Terakhir kali adalah tiga hari yang lalu paduka." Alden menganggukan kepalanya pelan.

"Siapa diantara kalian yang mengantar teh itu keruanganku?" Diam. Tidak ada jawaban dari mereka. Alden lagi-lagi terkekeh pelan dengan nada menghina.

"Pengawal bawa Wina kelapangan prajurit, eksekusi mati dirinya." Sontak bulu kuduk mereka berdiri. Eksekusi mati adalah hukuman untuk para penjahat kelas berat dikerajaan chander.

Dua pengawal dengan segera menahan lengan Wina. Wina dengan segera berteriak,
"Ampun paduka. Ampuni hamba paduka. Hamba hanya disuruh oleh seseorang." Wina berusaha melepaskan diri, tetapi tidak bisa. Ia berteriak dengan air mata yang juga menetes.

"Dan siapa yang menyuruhmu itu?" Alden mundur selangkah.

"Salah seorang pengawal kerajaan paduka. Hamba tidak melihat wajahnya paduka. Tetapi, Ia memiliki ciri-ciri, tubuhnya tidak lebih tinggi dari saya, suaranya serak, rambutnya sedikit panjang, dan terutama ia memiliki bekas luka ditangannya paduka." Terdengar gumaman beberapa dayang yang terkejut.

"Sayangnya, orang yang memiliki ciri-ciri tersebut sudah mati dicambuk kemarin." Wina terdiam kaku. Tamatlah riwatnya.

"Aku peringatkan, jika ada dari kalian yang berani mencelakai keluarga kerajaan, tali gantungan dan kemiskinan keluarga kalianlah yang menerima akibatnya." Suaranya bahkan berkali-kali lipat dinginnya.

"Padukaaaa....." Teriakan Wina mengiringi kepergian paduka yang pergi meninggalkan tempat itu. Lori bahkan merasakan kakinya layaknya tidak memilki tulang, benar-benar raja yang tegas dan kejam, sayangnya Amaira tidak melihat ini.

"Amaira, putriku." Aku terdiam mendengar panggilan itu, dengan segera aku membalikan badan mendengar suara yang sangat aku rindukan. Aku pernah mendengar suara itu samar-samar.

Berdirilah disana seseorang yang sangat mirip dengannya, hanya saja sosok itu lebih dewasa.
"Aku ibundamu Ara." Aku terkejut. Tetapi entah bagaimana aku dapat merasakan kupu-kupu bertebangan didalam perutku.

"Kau Ibundaku?" Wanita yang memakai pakaian yang sangat indah berwarna biru lembut dihadapanku mengangguk pelan dengan senyuman yang tak luput dari wajahnya.

"Benar sayang." Aku tidak tau harus bereaksi bagaimana. Jadi, aku melangkah bermaksud menyentuhnya, aku ingin memastikan apakah ini nyata atau hanya hayalanku saja.

"Jangan Ara." Wanita itu mundur selangkah, ia menggeleng sedih.

"Kenapa?"

"Tidak untuk saat ini. Hingga akan ada waktunya. Waktunya bukan sekarang Ara." Wanita itu tersenyum tipis kearahku.

"Jika kau adalah ibundaku, paman mengatakan padaku bahwa ibunda telah meninggal. Apakah aku saat ini-"

"Tidak. Tidak sayang. Ini bukan surga ataupun tempat kematian. Ini adalah sesuatu yang nyata, tetapi hanya terjadi dikepalamu." Wanita yang mengaku sebagai ibundaku itu tersenyum sedikit geli dengan pemilihan katanya.

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau seutuhnya adalah penyihir. Ah tidak, kau tidak seutuhnya penyihir. Maksudku sayang, kau memang bisa menjadi layaknya seorang penyihir. Kau bisa mengucapkan mantra, hanya saja lebih berusahalah. Pusatkanlah konsentrasimu, itu telah terbuka sedikit, jadi sekarang baru kau bisa mengucapkan mantra." Aku menerima informasi itu.

"Itu? Maksud ibunda?" Tanpa sadar aku memanggil wanita ini ibuku. Aku masih tidak mempercayainya

"Kelak kau akan mengetahuinya sayang."

"Ibunda, paman itu dekat denganmu?"

"Benar sayang."

"Kalian benar-benar sama. Seringkali mengatakan kalimat yang membuat orang frustasi." Wanita itu tertawa pelan.

"Kau tidak mencari tau mengapa pamanmu meninggal Ara?"

"Sejujurnya aku sering memikirkan itu, hanya saja aku tidak mengetahui apapun. Paman mengatakan akan kekerajaan victon. Saat aku keperpustakaan, aku mengetahui bahwa kerajaan victon telah hilang dari peradaban seribu tahun yang lalu. Aku tidak bisa menemukan petunjuk apapun ibunda." Aku memang mencari informasi saat diperpustakaan istana. Tetapi kenyataan itulah yang membuatku tidak berkutik.

"Itu petunjuk pertamanya Amaira. Petunjuk keduanya adalah temui guru Chaet."

"Siapa dia ibunda?"

"Dia merupakan peramal sekaligus guru besar di academy. Tetapi jangan cepat patah semangat sayang." Ia mengadah keatas. Aku ikut menoleh keatas, disini merupakan sebuah tebing dimana disebelah kiriku adalah jurang yang sangat besar. Lebih spesifiknya, aku berada ditepi hutan yang sangat gelap, jika disebelah kiriku adalah jurang, sebelah kananku adalah hutan. Sangat-sangat bagus bukan?

"Amaira telah waktunya. Satu hal lagi, percayailah rajamu. Sekarang kau melompatlah kejurang."

"Maksud ibunda?"

"Melompatlah kejurang, kau akan kembali keduniamu. Aku pergi dulu. Kami menyayangimu." Lalu aku merasakan sebuah kecupan singkat didahiku. Selanjutnya aku merasakan seperti beribu-ribu tangan mendorongku kejurang. Aku memejamkan mata saat merasakan seluruh udara ditarik. Kegelapan menyambutku.

04 Oktober 2017

The Chander Kingdom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang