Kim Namjoon

4.8K 704 8
                                    

"Hana Fashion sedang ada promo, silahkan dikunjungi,"
"Hana Fashion, promo terbatas, silahkan dikunjungi,"
"Ada promo menarik di Hana Fashion, silahkan dikunjungi,"

Kim Namjoon, seraya menikmati eskrim cone ditangannya ia memperhatikan perempuan yang sibuk membagikan selebaran, harga promo dari sebuah toko pakaian.

Perempuan itu nampaknya kewalahan, banyak yang lalu lalang, tapi sedikit dari mereka yang mau menerima selebaran itu. Bahkan, Namjoon juga melihat beberapa orang langsung membuangnya setelah membaca sekilas.

Ternyata sulit untuk menarik perhatian pengunjung, walaupun kelihatannya mudah. Kebanyakan sih tidak tertarik.

Namjoon jadi ingat bagaimana ibunya dulu bekerja seperti itu juga. Membagikan selebaran, malah ibunya harus mengenakan kostum mickey mouse, selama 3 jam lamanya. Betapa pengapnya dan melelahkan demi membiayai Namjoon dan adik perempuannya, Nami.

Sekarang, umurnya telah menginjak 16 tahun, sudah cukup untuk hidup mandiri, akhirnya memutuskan pergi ke Seoul untuk meneruskan sekolah menengahnya, sekaligus bekerja sambilan. Namjoon adalah orang yang cerdas, sekolahnya di Seoul ditanggung pemerintah.

Namun, 2 minggu yang lalu, ia harus kehilangan itu.

Drrt Drrt

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, menatap sebentar ke layar yang mencantumkan nama penelepon. Sesaat, ia mengambil nafas sebelum menggeser tombol hijau.

"Ne, eomma?"

"Namjoon, apa minggu ini kau pulang?"

"Em... Sepertinya, minggu ini juga tidak. Aku banyak urusan di sekolah. Eomma tau kan, aku ikut kegiatan organisasi."

"Eo... yasudah, tidak apa,"

"Itu pasti..."

Namjoon mengernyit, selama beberapa saat ibunya terdiam di seberang sana. Ia tau, ada hal yang ingin disampaikan.

"Ada apa, eomma? Katakan saja,"

"Em... ini soal Nami... dia diwajibkan mengikuti study tour... ke Jepang,"

Namjoon menghela nafas. Bukan, bukan karena ia keberatan jika ibunya secara tidak langsung meminta uang darinya. Ia hanya sedikit kesal, pada tingkah adiknya yang tidak pernah mengerti bagaimana jalan ekonomi keluarga mereka. Adiknya yang keras kepala dan sering malu pada nasibnya sendiri.

"Aku akan kirimkan uang, tapi jika itu tetap tidak cukup untuk biaya perginya, yasudah, biarkan saja dia tidak ikut."

"Namjoon—"

"Eomma, jangan memanjakannya. Sekali-kali, berikan dia penegasan. Biarkan dia mengerti bagaimana keadaan kita yang sebenarnya. Dia harus mengerti!" tanpa sadar, Namjoon berseru, ia juga tak sadar bahwa tangan kanannya memperkuat genggaman, sehingga cone eskrim yang rapuh itu menjadi hancur, dan menyebabkan eskrimnya menetes mengenai celananya.

Ibunya diam, mungkin terkejut, ia jadi merasa bersalah.

"Oh, astaga, maafkan aku eomma... Aku tutup dulu, aku harus bekerja."

"Baiklah Namjoon, jaga dirimu, ya... Maaf ibu sudah mengganggumu dengan hal tidak penting."

"Tidak apa, eomma, aku tutup ya."

Tut.

"Aish!" Namjoon menggerutu seorang diri. Celana kanannya jadi membekas bulatan basah dibagian paha, bau yang manis dan lengket. Oke, ini celana favoritenya, dan salahkan kecerobohannya sendiri, ia menghancurkan cone eskrim.

"Hahh..."

Namjoon menoleh ke perempuan yang tadi membagikan selebaran, duduk di sebelahnya seraya mengusap peluh yang menetes, membasahi beberapa anak rambutnya yang dibiarkan jatuh.

"Igeo," Namjoon mengulurkan sebotol air mineral yang langsung diterima perempuan itu.

"Hahh... melelahkan sekali,"

"Sudah kubilang, gantilah pekerjaan, kau bisa jadi pelayan di restaurant atau di café. Sama saja melelahkan, tapi setidaknya tidak ada yang mengacuhkanmu."

"Tidak semudah itu, Namjoon-ah,"

Mereka terdiam untuk beberapa sekon, baik sang perempuan maupun Namjoon, hanya memandang ke sekitar seraya menikmati angin berhembus.

"Aku merindukannya,"

Namjoon menoleh, memperhatikan wajah sendu perempuan di sebelahnya. Mulut kecilnya mengulas senyum, kentara sekali kesedihan di sana.

"Aku rindu ayah, ibu, dan... adikku... Menurutmu... apakah mereka masih hidup?"

"Ya—"

"Kurasa... mereka sudah mati..."

"Apa maksudmu, eo? Kau bukannya berharap keluargamu baik-baik saja, malah mendoakan yang tidak-tidak? Aku tau, kau punya kekesalan besar pada ayah dan ibumu, tapi, tidakkah kau sangat keterlaluan? Kau lupa, adikmu itu tidak bersalah."

Perempuan itu hanya tersenyum mendengar Namjoon yang berceloteh kesal. Ya, dia memang keterlaluan. Pergi dan tak pernah kembali setelah kejadian itu.

"Aku yakin, mereka juga lupa siapa aku. Mungkin, ada baiknya aku pergi, mereka tidak usah repot-repot membanting tulang menghidupi 2 anak."

Namjoon menggeleng. Entah kenapa, ada kekesalan besar yang membuncah, padahal dia bukan siapa-siapa.

"Kau memang egois, Hyosoo-ya."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


Adakah yang masih ingat FF ini? Maafkan author, disibukkan oleh menumpuknya catatan yang cuma dijepret-jepret belum disalin, ditambah TO, lalu tugas bulanan. oke, malah curhat. Semoga puas ya, maaf cuma segini :(

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang