"Jadi, apa penyakit ibuku?" ia bertanya pelan pada dokter muda di hadapannya.
"Hm... menurut obat yang kau bawa seminggu yang lalu... itu termasuk obat Antiretroviral."
"Ne? Obat apa? Apakah ibuku bisa sembuh dengan obat itu?"
Sang dokter menghela nafas seraya melepas kacamatanya. Dia benar-benar tak sampai hati mengatakan itu pada anak berumur 13 tahun yang datang padanya seminggu yang lalu, memberikannya sebutir obat dan memohon penuh agar membawanya ke lab. Ia benar-benar ingin tahu apa yang membuat ibunya menderita kian hari.
"Dengar, nak... aku tidak tau apakah kau mengerti dengan sebutan penyakit ini... Namun, berat hati kukatakan, bahwa penyakit yang diderita ibumu, tidak bisa sembuh secara total. Obat-obat yang dikonsumsi ibumu hanya memperlambat, bukan menyembuhkan."
Jungkook yang cengeng, sekarang air matanya sudah tumpah sebelum dokter itu mengatakan nama penyakit yang diderita ibunya.
"Ibumu... menderita HIV."
Jungkook berjalan lemas sepulangnya dari rumah sakit. Berterima kasihlah pada rasa penasaran yang malah membuatnya tersakiti. Ditambah lagi dunia internet yang menjelaskan padanya apa itu HIV. Lengkap sudah, dunia Jungkook serasa runtuh.
Ia tidak mau pulang, ia tidak mau ibunya melihat dia menangis, namun yang pasti, ibunya pasti membutuhkannya. Air matanya tak bisa berhenti sebentar saja. Ia terisak sepanjang jalan, bagai anak yang cengeng.
Bruk.
Jungkook jatuh terduduk saat tubuhnya menabrak seseorang yang lebih tinggi darinya. Dua laki-laki berseragam SMA, tak lain dan tak bukan adalah kakak kelas yang sering memalak uang darinya. Keduanya menyeringai licik.
"Wah, wah, lihatlah dia, menangis seperti bayi." ejek salah satunya.
"Bagaimana kalau, sedikit bermain untuk membuatnya kembali tersenyum?"
Plak!
"Jangan ganggu aku!!" Jungkook berteriak sekeras yang ia bisa, mengundang beberapa pasang mata orang yang berlalu. Ia baru saja menepis tangan kakak kelasnya yang hendak memegang rambutnya.
Salah satunya, Eunwoo, kemudian berjongkok dan berbisik tajam ditelinganya, membuatnya seketika merasa beku.
"Kau harus menerima akibatnya besok." Eunwoo kembali berdiri dan kembali memasang seringai. Ia menepuk bahu temannya, Sangyeol. "Ayo, pergi saja. Besok kita akan bermain sepuasnya."
Jungkook menatap nanar punggung yang menjauh itu. Ia langsung berlari pulang, derai air matanya masih mengiringi, malah semakin deras. Ia tidak peduli tatapan aneh dari orang-orang yang menabraknya.
Semuanya adalah kebohongan. Senyumnya, tawanya, Jungkook sudah bisa berakting baik di depan sang ibu. Ia bukanlah Jeon Jungkook yang ceria dan punya banyak teman. Ibunya tidak tau bagaimana hari-harinya di sekolah. Ia dikucilkan, dikata tak punya ayah, dikata punya ibu lemah. Ia sering dipukuli, dimintai uang kakak kelasnya.
Apa lagi yang lebih buruk disaat kau datang ke sekolah adalah untuk belajar, mencari banyak teman, tapi malah disambut ejekan dan berbagai perlakuan buruk lainnya?
Pantas saja, tak terhitung berapa kali Jungkook mencoba membunuh dirinya. Namun, ia selalu kembali pada ibunya lagi, seolah Tuhan tidak mengizinkannya untuk pulang, karena masih ada ibu yang membutuhkan kehadirannya.
Brak! Tanpa sadar, ia membuka pintu kasar. Ibunya yang di dapur langsung berlari menghampiri dengan apron yang masih mengalungi pinggang dan lehernya.
"Jungkookie, ada apa?"
"Hentikan senyum itu, eomma!"
Ibunya seketika terdiam mendengar anak semata wayangnya berteriak padanya. Ia tidak mengerti ada apa dengan Jungkook.
"Ada ap--"
"Eomma kenapa tidak mengatakannya saja padaku, huh?!" Nafas Jungkook memburu, air matanya masih setia turun seperti tak ada habisnya.
"Mengatakan apa?"
"Tentang obat itu! Tentang antiretro apalah itu! Tentang keadaan eomma! Tentang HIV yang eomma derita! Kenapa tidak mengatakannya saja?!!"
Ibunya bersumpah, ia benar-benar ketakutan melihat anaknya marah. Belum pernah dilihatnya Jungkook semarah ini, apalagi padanya. Tubuhnya melemas, dan sigap Jungkook memeluknya. Keduanya jatuh terduduk, terisak.
"Maafkan, eomma... maaf karena tidak mengatakannya... eomma tidak mau kau bersedih..."
Jungkook hanya diam seraya memeluk ibunya. Ia akan, benar-benar berjanji akan menjaga ibunya dengan baik, menguatkan ibunya seperti titahan dokter, mungkin inilah alasan mengapa ia tidak pernah berhasil membunuh dirinya sendiri, Tuhan tau, ibunya sangat membutuhkannya hingga nafas terakhir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
FATAMORGANA
FanfictionJangan jadikan janji kita hanya sebatas fatamorgana __________________________________ Inspirated by BTS ©Hazel2017 start : 10 Oktober 2017 end : 1 Januari 2019 SAYA TIDAK MEMPUBLISH FIKSI INI DI LAPAK MANAPUN, HANYA DI WATTPAD