Begin

119 16 36
                                    


Seminggu kemarin gadis bermarga Yoo telah menghabiskan waktunya bersantai setelah kedatangannya dari Amsterdam. Berdiam diri di kamar, membaca novel, mendengarkan lagu, atau sekedar video call dengan teman-temannya di kota lamanya. Bukan, bukan karena kakak laki-lakinya, Kihyun tidak mengajaknya berkeliling kota setelah sekian lama adiknya di negeri orang. Hanya saja, Callysta amat merindukan kamarnya.

Callysta tentu senang kembali pulang ke kota lahirnya, namun kerinduan menyergap begitu tiga hari hidungnya baru menghirup musim semi di Korea. Maklum, ia belum mengenal banyak orang di sini selain keluarganya.

"Cuaca sedang bagus di luar, ayo!"

"Aku sedang menghabiskan waktuku bernafas di atas tempat tidur," jawabnya sambil berguling ke sana kemari.

"Callysta, ayolah, akan kukenalkan dengan teman-temanku"

"Oppa, maafkan aku, lemnya begitu rekat"

"Yak, ini adalah hari terakhir liburmu"

"Maka dari itu aku harus menyimpan energiku, besok otakku kembali bekerja keras"

"Aishh"

"Lemnya tidak berfungsi jika kau masakkan aku saja," Callysta nyengir. Kihyun hanya mendengus sambil keluar dari kamarnya. Menurut saja pada permintaan adik semata wayangnya.

Yoo Kihyun, tidak berubah sama sekali. Tetap suka mengomel, namun sangat lembut dan perhatian pada Callysta. Menuruti apa saja kemauan adiknya itu. Apalagi, mereka sangat jarang bertemu. Tapi kali ini, tidak bisa dihitung pertemuan mereka dalam sehari karena Callysta akan tinggal di Korea untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat senior high school.


 Tapi kali ini, tidak bisa dihitung pertemuan mereka dalam sehari karena Callysta akan tinggal di Korea untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat senior high school

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


•••


Wajar bukan, jika kalian merasa gugup di saat hari pertama masuk sekolah? Begitulah yang dirasakan gadis berwajah blasteran Korea--Belanda ini. Ia tatap gedung dengan empat lantai di depannya. Tampak kokoh menjulang dengan lapangan bola berumput di depannya.

Callysta merasa asing. Ia sudah berusaha mengusir perasaan semacam itu di tanah lahirnya. Tapi, tetap saja sembilan tahun ia habiskan di Belanda membuatnya merasa sendirian di sini. Kicauan bahasa korea di sekelilingnya juga terasa aneh, namun menyenangkan. Hanya saja, ia tidak tahu harus mengobrol dengan siapa, berkenalan dengan siapa karena di sekitarnya asyik mengobrol seperti sudah lama saling kenal.

Apa hanya Callysta sendiri yang tidak mengenal siapapun?

"Wah, kau dari Amerika?"

"Hanya kurang lebih yaa empat tahunan bersekolah di sana," suara berat itu memancing Callysta untuk menoleh, mencari sumber suara. Terlebih lagi, hei dia sama seperti Callysta, dari luar negeri.

LOVEPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang