Bab 4

44 8 0
                                    

Aku disini melihatnya...
Aku disini mendengarnya
Aku disini menunggunya
Menunggu untuk satu hal yang tak pasti...
Menunggu sesuatu yang akan menyadarkannya...
Membuatnya jatuh saat itu...


*********

      "NAYA!" Teriak Ryan yang sukses membuat perhatian tertuju padanya. Ryan yang menyadari tatapan risih yang tertuju kepadanya hanya membalas dengan cengiran kuda andalannya.

      "Kenapa sih? Gak usah pakai teriak-teriak bisakan? Lagian gue juga belum budek" Ryan mendengus kesal mendengar pertanyaan yang lebih mirip pernyataan.

      "Gak ada yang bilang lo budeek tuh." Kata Ryan datar. 

      "Yee, ngambek deh. Gue kan cuman bilang gak usah pakai teriak, Aryanda." Terang Naya dengan nada santainya. Ia tersenyum tipis melihat kelakuan sahabatnya. Naya melihat Ryan yang mencebikkan bibirnya, khas seorang Ryan saat melancarkan aksi ngambeknya. 

     "Tuh bibir gak usah dimanyun-manyunin. Muka lo nambah jelek jadinya!" Ujar Naya sembari membenarkan rambut Ryan yang sedikit berantakan. Bersama Ryan, Naya merasa ia memiliki adik kecil yang mengemaskan. Tingkah laku Ryan yang childish benar-benar membuat dirinya terkadang menjadi sosok dewasa tanpa ia sadari. Namun, disaat itulah Naya benar-benar bahagia. Bahagia yang sangat sederhana.

      "Gue ngambek nih, malah dikatain. sebal ah." Rengek Ryan dengan nada manjanya. Naya terkekeh pelan sembari berdiri , sebelum mengeluarkan jurus jitunya. 

      "Kantin, Yuk! Gue traktir beli Moci deh, serah lo mau berapa." Naya langsung mengeluarkan jurus jitunya yang disambut tatapan ceria dari Ryan.

      "Oke, Yuk." Ryan menarik tangan Naya dengan semangat 45. Keduanya langsung menuju gerai es krim dengan tawa kecil.

                                                                                             ********

      Di sebuah ruangan yang gelap, tampak seorang laki-laki mengenakan topi dan mantel. laki-laki itu memegang secarik foto kusam dan secarik kertas yang sepertinya sebuah surat.

                                                                                               *******

        Malam yang menyenangkan, setidaknya bagi Zico. Berkumpul bersama keluarga besar memang menjadi satu hal yang menyenangkan. Ya, malam ini entah ada acara apa yang jelas mendadak keluarga besarnya berkumpul di kediaman sepupunya. Zico merasa sedikit aneh dengan acara yang begitu mendadak, tapi ia hanya bisa berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Bukankah itu berarti ia bisa bertemu dengan sepupunya, lantas kenapa ia memikirkan hal yang tidak-tidak. AHH, sepertinya ia terlalu negative thinking.

       Ia dan kedua orang tuanya turun dari mobil, di depan rumah sepupunya tampak bibi, paman, sepupunya yang sudah menunggu mereka.

       Namun, entah perasaanya saja atau iu benar Zico mendapati tatapan aneh dari sepupunya itu. belum sempat, Zico memikirkannya orang tuanya memanggilnya.

        "Zico? Ayo kita masuk, yang lain juga sudah menunggu. kamu juga Dervan." ucap Tante Lily, mama Zico sambil menatap anaknya dan keponakannya, Dervan.

        Tanpa menunggu jawaban dari para anak mereka, mereka masuk ke dalam.

        Mendadak keheningan menyelimuti suasana saat itu, Zico menghela napas saat melihat sepupunya itu menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dervan menghela napas sebentar sebelum ia berkata, "Gue gak tau apa alasan lo ngelakuin hal yang bisa membuat orang yang lo sayangi terluka. Jujur, gue bukannya mau ikut campur. tapi, gue mohon sama lo Zic lupain dendam lo. Lo tau, dia gak bakalan suka."

        "Jadi ini, yang mau lo omongin? Gue juga pengin berhenti tapi lo harus tau gimana sakitnya Van."

        "Tapi, itu bukan satu-satunya jalan. Lo bisa milih jalan lain Zic."

        "Enak lo bilang cari jalan lain. lo pikir itu mudah hah? Lo tau gue sayang sama dia Van, tapi apa? orang itu ngebuat orang yang gue sayang pergi untuk selamanya Van. Gue ga bakal berhenti sebelum, orang itu merasakan apa yang gue rasakan. maaf Van, gue ga bisa nurutin apa yang lo suruh untuk urusan ini." Zico tidak berdusta akan apa yang ia katakan saat ini, hatinya perih menginggat masa lalunya. Tuhan, apa pun yang terjadi ia benar-benar harus melakukannya.

        "Tapi kenapa Aya, Zic? dia gak bersalah Zic." Dervan benar-benar tidak habis pikir dengan rencana sepupunya ini. Gue ngelakuin ini, buat ngelindungi lo zic. Batin Dervan.

        Zico terdiam, matanya menerawang. Tidak, ia harus melakukannya, harus! Di tatapnya Dervan yang juga membalas tatapannya.

        "Maaf Van! Gue ga bisa." Zico meninggalkan Dervan yang terpaku di tempat. Pikirannya benar-benar kacau, ia hanya ingin menyendiri saat ini.


                                                                                               ********

-Happy Reading-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang