Spesial gift

338 16 4
                                        

Cinta yang tak pernah hilang
Kasih sayang yang tak pernah pudar
Sayap yang selalu merengkuhku dari kekejaman dunia
Perisai yang selalu menjaga dimanapun ku berada

Kini Semua hilang tanpa jejak
Seolah ditelan oleh bumi
Menyisakan sekeping kenangan
Serta rindu yang menyiksa kalbu

Ayah. . Inginku-

"Hiks hiks hiks"

Tak bisa lagi ku bendung air mata yang sedari tadi ingin keluar. Selalu seperti ini. Setiap ku mengingat ayahku, akan selalu berakhir dengan deraian air mata.

Rasa sesak, sakit juga kecewa mendominasi pikiran dan hatiku saat ini.

Semua tatapan mata sontak tertuju padaku. Ujung kemeja ku remat dengan tangan yang bergetar. Bibirku bergumam lirih memanggil ayahku. Berharap ayahku datang melihat ku disini.

Di sini, di depan puluhan bahkan ratusan pasang mata aku berdiri dengan tubuh yang bergetar. Ya, aku saat ini tengah mengikuti lomba puisi yang diadakan di sebuah gedung.

Dapat ku lihat berbagai tatapan yang ditujukan untukku. Namun tatapan iba lebih mendominasi gedung ini.

Dewan juri yang berada di depanku diam menunggu kelanjutan ku berpuisi. Namun aku hanya menundukkan kepala.

Sekitar satu menit kemudian aku mendongakkan kepala. menatap lurus ke depan dan mencoba mengeluarkan suaraku.

Namun, suaraku tercekat di tenggorokan hingga tak bisa keluar. Hanya gagapan tanpa suara yang keluar dari bibir mungil nan basah ku. Aku melamun memikirkan ayahku. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa ia sudah bahagia? Apakah ia sudah menemukan kebahagiaannya lagi? Apa ia sudah tak ingin menganggapku lagi?

"Peserta nomor 5, apakah anda sanggup melanjutkan? Anda akan di diskualifikasi jika tak segera melanjutkan"

Suara pembawa acara menyadarkanku dari lamunan. Aku menatap mata doe ibuku yang basah karena air mata. Tatapan ibuku seolah mengisyaratkan untukku berhenti.

Namun aku menggelengkan kepala dan memberikan senyum yang mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku mengalihkan pandanganku kepada sosok lelaki di samping ibuku. Lelaki itu, lelaki dengan kontur wajah yang mirip sekali dengan ayahku. Yang selalu menjagaku serta ibu dengan sepenuh hatinya. Sosok yang tegar, kuat, penyayang serta menjadi kebanggaanku. Dialah kakak kandungku.

Netra ku menangkap setetes bulir bening jatuh dari pelupuk mata kakakku. Ia menggelengkan kepala ke arahku yang justru ku balas dengan senyuman manis.

Aku sangat menyayangi kedua sosok di hadapanku ini. Dua sosok malaikat yang selalu menjagaku. Membuatku selalu merasa terlindungi. Mereka, sosok yang teramat berharga dan tak akan bisa dibandingkan dengan apapun di muka bumi ini.

Senyuman yang mereka pancarkan, merupakan sebuah energi untukku. Tanpa senyuman mereka, hidupku seolah redup dan kosong.

Dan aku bersumpah akan melakukan apapun agar aku bisa melihat senyuman mereka di setiap detik hembusan nafasku.

Aku meneteskan air mataku lagi.

"Peserta nomor 5?"

Untuk yang kedua kalinya, suara pembawa acara menginterupsiku. Mendesakku agar segera melanjutkan puisi ku yang terhenti di tengah jalan.

Aku menghapus dengan kasar air mataku, mengatur detak jantungku. Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus memberikan yang terbaik untuk kedua sosok yang teramat ku sayangi. Aku mengangguk mantap.

Ayah. . Peluklah akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang