Rose menatap email di layar ponsel yang baru ditemukan di bawah kolong ranjang beberapa saat yang lalu. Ia sudah cukup kesal karena mencari benda tersebut ke seluruh ruangan, tapi perasaan tersebut seakan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan isi email yang sedang ia baca. Pamannya; Sir Arnold Wigburg mengirimkan pesan panjang dan sopan, tapi inti dari email tersebut tidak membuat Rose merasa senang.
Pamannya yang baru berusia tiga puluh tahun itu mengatakan bahwa ia harus tetap tinggal di sana. Di tempat laki-laki bernama Travis yang setahun lalu mengambil keperawanannya, sosok yang berusaha ia anggap tidak pernah ada. Rencana mereka berubah. Semula ia bertugas menjadi gadis cantik yang bebas dan boleh menggoda pria manapun. Sekarang statusnya berubah hanya dalam rentan waktu satu malam saja, sekarang ia adalah kekasih seseorang. Atau lebih tepatnya harus menjalani misi tersebut dengan menjadi kekasih lelaki itu.
"Demi Tuhan!" Teriak Rose sambil melempar ponsel ke atas kasur. Lalu ia mengutuk diri sendiri saat melihat tampilan wajahnya di cermin, rambutnya mencuat dengan berlebihan, serta ada lingkaran hitam sebesar sendok yang menggantung di matanya. Tapi di balik semua kekacauan yang melekat pada dirinya, ia merasa kesal karena raut puas, lelah, dan merasa bahagia karena terpuaskan memancar dari sana. "Aku pasti sudah gila!" Rutuknya sambil memukul kepala dengan kepalan tangan.
Ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, namun ia hanya bertahan tiga detik di sana. Kamar mandi itu jelas bukan diperuntukan untuk wanita, tidak ada handuk, shampo, conditioner atau peralatan tetek bengek wanita pada umumnya. Yang ada di sana hanya sebotol sabun cair serta satu sikat gigi yang tampaknya baru beberapa kali dipakai, dan sebotol odol.
Rose mencari-cari ke dalam lemari di dekat pintu masuk kamar mandi, menemukan beberapa handuk putih yang terlipat rapi. "Ciri khas tentara," gumamnya dengan nada geli. Semua pakaian di dalam lemari terlipat rapi. Tampak jelas bahwa pemilik ruangan tersebut sepertinya pernah menghabiskan beberapa saat di militer. Setelah berusaha mencari baju yang pas untuk dikenakan, akhirnya hanya sebuah sweater kebesaran yang dirasa cocok untuk tubuhnya. Sisa pakaian di dalam sana hanya baju formal untuk acara resmi.
Setelah mandi dengan cepat dan seadanya. Rose cepat-cepat keluar dari kamar mandi, ia hanya berbalut handuk karena lupa membawa gaun compang campingnya—yang entah diletakan dimana. Tapi begitu ia membuka pintu. Sebuah pintu lain menghalangi jalannya. Well sebetulkan tidak sebesar pintu, hanya saja tubuh laki-laki itu membuat Rose merasa mungil, dan ia membentur dada bidang yang keras itu hingga nyaris terjungkal. "Astaga!" Ia memekik dan hampir saja ambruk ke belakang andai laki-laki itu tidak menahan tubuhnya.
Untuk sesaat akal sehat seolah meninggalkan tubuhnya, yang Rose lakukan hanya membatu sambil menatap mata biru yang tampak menantang, rambut pirang Travis yang dipotong rapi menambah kesan maskulin pada garis wajahnya yang kotak namun cenderung tirus. Hidung lancip laki-laki itu pasti akan membuat banyak wanita iri, ditambah bibir tebal namun terlihat tipis itu membuat Rose tidak sanggup untuk mengalihkan pandangan. Gelenyar panas memutari tubuhnya, dan berakhir pada pusat tubuhnya yang masih merasa nyeri
"Lepaskan aku!" Akhirnya Rose menarik diri saat akal sehatnya sudah mulai pulih, menjauh dengan serampangan, dan detik berikutnya ia terhuyung mundur dengan handuk yang sudah melorot kelantai. "Kau! Arrgh! Pergi sana!" Ia menendang tulang kering Travis untuk menghilangkan rasa malu. Padahal jika dipikir-pikir, entah berapa kali mereka sudah bercinta pada 24 jam terakhir. Tapi setelah melihat Travis dalam kondisi sadar dan tanpa pengaruh obat perangsang, Rose merasa sangat malu dan rapuh. Sejujurnya ia berharap untuk tidak pernah bertemu dengan pria itu lagi. Rose membanting pintu tepat di depan wajah Travis yang masih menatapnya dengan sorot mata menilai, sementara sebelah alisnya terangkat naik.
Travis jelas sedang menguji keberanian dirinya. Namun Rose tidak ingin terpancing, ia akan tetap berada pada pendirian awal. Dirinya tidak mengenal laki-laki itu, dan ia hanya akan mengucapkan terima kasih formal. Lalu pergi seolah percintaan mereka tidak lebih dari rasa kemanusiaan. Rose akan menganggap Travis menolong dirinya karena merasa kasihan dan mendapat kesempatan. Hanya sebatas itu. Tidak lebih.
YOU ARE READING
Trapped In Conspiracy [Conspiracy Series #3]
RomanceErick Montgomery menjalani kehidupan yang ganas setelah kematian Ayahnya. Ia memilih untuk menjadi agent ghost lapangan dengan posisi paling berbahaya. Ia harus menjalani misi dengan pertumpahan darah, rasa frustasi akibat kematian sang Ayah membuat...