MUFIN
Putus sekolah bukan lagi lumrah. Lebih dari itu, di desa ini sudah jadi kewajiban. Desa leduk hanya punya satu sekolah dasar, selain itu warga harus menempuh perjalanan jauh ke desa tetangga untuk jenjang sekolah selanjutnya.
Mufin adalah salah satu dari penganut paham putus sekolah tersebut. Usianya masih enam belas tahun, lulus sekolah dasar ia segera melaut. Sebagai penduduk daerah pesisir, Mufin menanggung cacat yang memaksanya berhenti menjadi nelayan. Ya, Mufin tidak bisa berenang.
Beruntung tetangganya mengenalkan Mufin pada Pak Imam. Segera setelahnya Mufin bekerja sebagai penjaga tambak udang. Tidak hanya berjasa memberi kesempatan kerja, tetangganya tersebut juga mengajari Mufin banyak hal. Dan hal paling berharga yang Mufin dapatkan darinya adalah, sosok seorang ayah.
"Man Rusli harusnya beli motor seperti Pak Imam," Ujar Mufin pada tetangga yang saat ini sedang bersepeda bersamanya, Man Rusli. Lelaki tua itu sudah bisa beraktivitas kembali. Hanya saja malam ini Ia diberi keringanan untuk pulang lebih awal. Merasa berhutang Budi, Mufin tidak ingin membiarkan Man Rusli pulang sendiri. Tidak setelah apa yang terjadi kemarin.
"Uangnya tidak ada Le. Saya dan istri masih menabung untuk pemasangan listrik," Jawab Man Rusli yang sedang mengayuh sepeda tepat di belakang Mufin. "Oh ya, tidak seharusnya kamu repot-repot mengantar Saya pulang. Saya masih sanggup pulang sendiri," Protesnya. Mufin hanya tersenyum menanggapi.
Belum juga tengah malam tapi gelap sudah merata. Leduk adalah desa yang selalu tidur lebih awal. Hampir tidak ditemukan warga berkeliaran di atas jam sembilan. Kecuali para nelayan yang akan berlayar, atau para pekerja tambak yang bertugas malam. Para kusir pun sering menolak penumpang di atas jam delapan malam, karena untuk sebuah alasan Kuda mereka enggan melintas lebih jauh dari area perkebunan.
Separuh perjalanan dari tambak udang menuju perempatan, dimana keempat jalur utama desa dipertemukan. Mufin mulai memperlambat sepedanya, membuat Man Rusli harus melakukannya juga. Tidak lama kemudian Mufin berhenti, entah takdir atau kebetulan tempatnya berpijak saat itu adalah tempat Man Rusli pingsan.
"Kenapa le?" Tanya Man Rusli. Mufin menunjuk ke depan dan menoleh ke belakang secara bersamaan. Man Rusli mencoba mengerti arti dari raut wajah Mufin saat itu, karena Ia tidak mengerti maksud dari arah telunjuknya. "Sampean, lihat itu?" Tanya Mufin.
Di mata Man Rusli, jari telunjuk Mufin hanya mengarah pada jalan sepi di depan. Tidak ada pemandangan berarti terutama yang bisa membuat pemuda itu pucat pasi. Kecuali jika di mata Mufin, Ia melihat sesuatu yang sedang Man Rusli pikirkan.
"Sebenarnya, apa yang kamu lihat?" Tanya Man Rusli pelan, dengan wajah yang mulai tegang. Mufin menjawab, "Seperti orang sedang berbaris, membawa sesuatu di pundak mereka, menuju ke arah kita." Ia mendeskripsikan dengan sangat jelas, terutama pada orang yang sudah pernah melihatnya. Hanya saja, "Kenapa Saya tidak melihat apa-apa?" Tanya Man Rusli heran.
Jika bukan karena apa yang dialami Man Rusli, Mufin tidak akan setakut ini. Ia tergopoh-gopoh memutar balik sepedanya, tapi Man Rusli menghalangi. "Tunggu!" Seru Man Rusli. "Tunggu apa lagi Man, kita kembali ke tambak dan beritahu yang lain." Jawab Mufin gugup. "Percuma, karena saat ini hanya kamu yang bisa melihat mereka." Man Rusli berusaha menahan sekaligus meyakinkan Mufin. Pemuda itu melihat ke belakang, ke arah Hantu Keranda itu datang. Kemudian berbalik lagi menghadap Man Rusli. "Te, terus kita harus bagaimana?" Tanya Mufin.
Belum sempat menjawab, dari arah berlawanan, arah menuju ke gerbang tambak, Sesuatu yang sama juga sedang berjalan mendekati mereka. Hanya saja kali ini, "Ap, apa-apaan ini?" Man Rusli separuh lemas. Ia melihat jelas apa yang saat ini sedang mendekatinya. Dan jika apa yang dilihat Mufin adalah hal yang sama, itu artinya mereka berdua sedang dikepung dua keranda.
Jika mendengar cerita rakyat dan orang-orang tua, dan cara mereka menggambarkannya, tidak mungkin empat hantu pocong membawa sebuah keranda mayat. Semua orang tahu bagaimana cara setan itu bergerak, bagaimana caranya melompat untuk berpindah tempat. Tapi yang saat ini sedang mendekat, berbeda dengan apa yang selama ini mereka bayangkan.
Keempat Pocong itu berjalan layaknya manusia. Walaupun kesulitan karena kain kafan membelenggu betis hingga mata kaki. Kaki pucat telanjang yang tidak meninggalkan jejak, dan rintihan perih setiap kali mereka melangkah.
Mufin dan Man Rusli mendengar itu. Dua hantu keranda semakin jelas mendekat, tanpa menyadari ada dua orang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Mufin dan Man Rusli. Kali ini takut di wajah Man Rusli setara dengan takut di wajah Mufin. Yang berbeda hanyalah banyaknya keringat yang mengalir di sekujur tubuh mereka. Untuk yang satu itu, Mufin adalah juaranya.
"Keranda yang dari barat, apa Kamu melihatnya juga? Terus yang dari timur sudah sampai mana?" Tanya Man Rusli. Mufin tidak harus menjawab semuanya, ia hanya perlu memberitahu Man Rusli. "Pocong itu membawa kerandanya berbelok ke selatan." Bisik Mufin. "Selatan?" Tanya Man Rusli yang mulai mencampur ketakutannya dengan kebingungan. Nafas Mufin semakin berat, namun melengking seperti kucing yang siap berkelahi.
"Anak ini sudah sampai batas. Lebih lama lagi dia pasti pingsan," Pikir Man Rusli, tanpa memikirkan kemungkinan dirinya lah yang akan pingsan lagi. Mufin masih memperhatikan apa yang kasatmata baginya, dan saat Man Rusli melakukan hal yang sama, Ia mendapati Hantu keranda yang dari barat pun sudah berbelok ke selatan. Dua hal ghaib itu berjalan melewati pematang sawah yang menghubungkan jalan ke gerbang tambak dengan sebuah tanah di seberang sawah.
Harusnya mereka pingsan. Harusnya mereka sudah tidak di sana lagi. Tapi walaupun melihat hal yang berbeda, Mufin dan Man Rusli dikuasai rasa penasaran yang sama. "Kemana tujuan hantu Keranda itu?"
Tidak disadari memang. Langkah para pocong yang pelan, tapi mampu sampai di tujuan dengan cepat. Kedua Hantu Keranda itu bertemu di seberang sawah, di tanah lapang yang ditanami beberapa pohon kelapa.
Mufin dan Man Rusli merangkak, mendekat dan memperjelas apa yang ingin mereka lihat. Sayangnya saat mata mereka berkedip, penampakan itu hilang dari pandangan. Hilang di mata Man Rusli, hilang juga di mata Mufin.
"Lenyap. Pocongnya hilang." Seru Mufin dengan suara normal yang secara ajaib kembali setelah sempat hilang. "Ya. Saya juga tidak melihatnya lagi." Ujar Man Rusli. Tanpa berpikir dua kali Man Rusli keluar dari semak-semak dan melompat ke jalan. "Mau kemana Man?" Tanya Mufin seraya bangkit dari persembunyian. "Dengar, Kamu tidak harus ikut Saya. Sebaiknya pulang atau kembalilah ke Tambak!" Perintah Man Rusli.
Man Rusli berlari tanpa menghiraukan Mufin. Ia juga lupa dengan sepedanya sendiri. Jelas sekali kemana tujuan Lelaki berkumis tebal itu. Man Rusli melewati pematang Sawah yang ternyata sangat sempit. Mustahil dilewati empat orang dengan dua barisan. "Sejak awal semua ini memang tidak masuk akal." Gumamnya dalam hati.
"Kembali ke tambak seorang diri, Setelah apa yang Saya lihat tadi? Tidak!" Mufin membuat keputusan, Ia bertekad menyusul Man Rusli dan meredam besarnya rasa penasaran.
Sesampainya di tujuan, tidak banyak yang mereka temukan. Hanya sebuah tanah kosong, yang dibatasi pagar kayu, yang memisahkannya dengan kebun mangga. Man Rusli mulai mempertanyakan kesadarannya sendiri. Apa yang sedang ia lakukan larut malam seperti ini, pergi ke tempat sepi, mencari sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Tidak ada yang menarik perhatian selain pohon kelapa dan sebuah, "Batu besar?" Tanya Man Rusli heran.
Dua buah batu besar, sebesar kepala manusia dewasa tertancap di tanah. Keduanya Bersebelahan dengan jarak kurang dari satu meter. "Apa yang sampean temukan man?" Tanya Mufin yang berhasil menyusul. "Ssst!" Man Rusli mengabaikannya, saat ini matanya hanya terpaku pada kedua batu tersebut. Walaupun gelap dan hanya dibantu cahaya bulan, Jelas sekali kalau batu tersebut sengaja diletakkan di sana, membuatnya terlihat familiar. "Ini, mirip kuburan." Dugaan Man Rusli tersebut semakin kuat manakala Mufin melihat hal yang sama.
"Kalau itu kuburan, terus yang ini apa man?" Tanya Mufin seraya menunjuk puluhan batu tertanam rapi membentuk sebuah makam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BARISAN KERANDA MERAH
TerrorLima tahun berlalu setelah tragedi Polong Mayit. Pertumpahan darah menyisakan bangkai yang harus mereka timbun untuk menutup bau busuknya. Adalah Desa Leduk, sebuah desa di daerah pesisir yang merupakan Desa dengan pemakaman terbesar. Namun tanah d...