MARLENA
Suatu hari baru di antara semua hari yang gelap. Hidup dan impian Sang Biduan berubah. Marlena tidak perlu lagi naik dan turun panggung, menghibur lelaki yang biasanya mabuk, menari dekat dengan tubuh Sang Biduan dan berakhir dengan tamparan istri - istri mereka. Panggung berakhir, Marlena yang digunjing. Beruntungnya Marlena, sejak Hariyadi mempersunting gadis cantik berambut kemerahan itu, Ia tidak perlu lagi jadi penghibur panggung.
"Barusan Kakak bertemu dengan juragan. Beliau sudah mengurus syarat - syaratnya, dan Emping bisa mulai sekolah besok," Kabar gembira dari Hariyadi di malam pertama pernikahannya.
Marlena sedang melipat baju, menatanya dengan rapi walaupun wajahnya mendadak kusut. Bukan tidak bahagia mendengar berita itu, tapi Ia tidak senang dengan orang yang Hariyadi panggil juragan. "Alhamdulillah," Jawab Marlena lesu.
Hariyadi meletakkan kembali kopi hitamnya. Badannya sudah segar dan wangi, sudah Ia pastikan tidak ada lagi rasa asinnya air laut dan sisa - sisa pasir pantai di tubuhnya. Ia pun menghampiri sang istri dan memeluknya erat. "Terus kenapa wajah istri kakak murung begitu?" Tanya Hariyadi.
"Adik hanya tidak suka sama bos kakak. Caranya menatap adik sangatlah tidak sopan." Keluh Marlena.
"Apa cara pandangnya sama seperti cara kakak memandangmu malam ini?"
Marlena menoleh, memperhatikan wajah suaminya yang penuh dengan daftar keinginan. Ada seribu kiranya, tapi cukup satu yang harus Marlena berikan. Tapi tidak sekarang.
"Hihi, maaf Kak. Adik sedang datang bulan."
Hanya para pria yang tahu, betapa kecewanya Hariyadi malam itu. "Ah tidak apa - apa, Kakak tidak memiliki Adik hanya untuk malam ini saja. Masih ada malam - malam selanjutnya" Ujar Hariyadi menghibur diri. Tentang rasa kecewa, biarlah lima cangkang telur di tempat sampah itu yang jadi saksinya.
***
Pernikahan Marlena terlalu singkat bahkan untuk sekedar menyusun rencana. Ia selalu menerima kekurangan Hariyadi dari sejak mereka pacaran, tapi untuk sebuah kabar buruk di pagi itu, Marlena sangat menyesali keputusannya.
"Ada apa kang?" Tanya Marlena pada dua orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. Sengaja tidak Marlena biarkan masuk karena begitulah cara Dia menghargai Suaminya.
"Perahu Hariyadi mengalami kebocoran. Hariyadi tenggelam dan tidak bisa diselamatkan."
MARLENA
Entah apa yang membawa Marlena kembali mengingat peristiwa itu. Tapi Ia tahu apa yang sudah membawanya kembali siuman. Ya, wajah Azwar yang saat ini sudah berada dekat sekali dengan wajahnya.
"Aaah!"
PLAK!
Azwar mundur. Ia duduk dengan tangan kanan di pipi kirinya. Wajahnya saat itu seolah tidak akan memaafkan tamparan Marlena. Ia akan mengingatnya sebagai penghinaan dan tidak akan lupa kecuali Marlena jadi miliknya. Sedangkan bagi Marlena, apa yang dilakukannya adalah bentuk pembelaan. Spontan memang, tapi sadarpun Marlena tetap akan melakukan hal yang sama. Tidak ada alasan lain bagi seorang pria melakukan hal tersebut pada wanita yang sedang pingsan, kecuali memang berniat jahat.
"Ma, maaf. Tapi Pak Guru mengagetkan Saya," Ujar Marlena. Masih ada separuh ruang kosong di kepalanya, itu jadi penyebab ari mukanya yang tampak bingung dan berusaha mengingat apa yang sudah terjadi.
"Baiklah, Saya maafkan." Sahut Azwar yang tiba - tiba kembali menyerang Marlena. Perempuan itu masih duduk di lantai warungnya, bersandar pada meja dengan tubuh yang masih tidak bertenaga. Kalaupun ada sedikit kekuatan, Marlena menggunakannya untuk menampar Azwar lagi. Kali ini di pipi sebelah kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BARISAN KERANDA MERAH
TerrorLima tahun berlalu setelah tragedi Polong Mayit. Pertumpahan darah menyisakan bangkai yang harus mereka timbun untuk menutup bau busuknya. Adalah Desa Leduk, sebuah desa di daerah pesisir yang merupakan Desa dengan pemakaman terbesar. Namun tanah d...