"Mas, aku gak bisa begini, aku gak mau anak ini lahir, kamu tau kan?!",
"Gak bisa, sayang. Kamu harus melahirkan anak ini. Kamu gak-",
"AKU MASIH MAU MENGURUS KARIRKU! AKU GAK MAU ANAK INI! KAMU MAU URUS INI SENDIRI, HAH?!", ucap Uli seraya memukul perutnya yang sedang hamil 2 bulan, Robyn berusaha mengalihkan tangannya,
"Kamu gak bisa begini, semua udah terjadi-",
"Semua ini gak akan terjadi kalo kita gak nikah! Aku udah bilang sama kamu, aku gak mau punya anak sampe umurku 30 tahun! Aku mau karir ku berjalan mulus, kamu gak pernah ngerti! Aku mau gugurin anak ini", Uli bergegas mengambil kunci mobil, Robyn mengambilnya dan membuangnya ke kolam renang,
"Ayo, coba kamu ambil, kalo kamu bisa",
"Kamu tau aku bisa lakuin semuanya yang aku mau", ucap Uli yang kemudian menceburkan diri ke kolam renang sedalam 3 meter, Uli tidak bisa berenang, karena dia takut kedalaman, dengan segala usaha untuk mencapai dasar kolam renang, kakinya pun kram. Tak lama, Robyn menceburkan diri ke kolam renang dan mengangkat Uli yang hampir pingsan,
"Aku gak mau anak ini, mas. Kamu bisa ambil dia setelah dia lahir, aku gak butuh. Aku gak mau!" ucapnya terengah-engah, Robyn hanya bisa memeluknya dengan air mata yang perlahan membasahi pipinya.
"Nyonya sudah bangun, Tuan", ucap salah satu pelayan rumah, Robyn saat itu sedang duduk didepan TV, menunggu Uli kembali sadar setelah 6 jam tidak sadarkan diri sejak insiden di kolam renang.
Robyn terbangun, berjalan perlahan, dia tidak tahu ingin memikirkan apa, bagaimana. Dia hanya tahu, bahwa Uli- istrinya, sudah tidak menginginkan buah cinta mereka lagi. Ini merupakan pertama kalinya ia mencoba untuk menggugurkan bayi mereka. Uli merupakan seorang aktris terkenal, ia sangat berhati-hati dengan karirnya, dan kehadiran seorang anak pada saat itu bukanlah hal yang ia inginkan sama sekali. Uli merupakan seorang wanita ambisius, dan terkadang karena rasa ambisiusnya, ia bisa melakukan apapun yang ia butuhkan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Robyn yakin, jika ia tidak mencari jalan keluar atas masalah ini secepatnya, Uli pasti akan menggugurkan bayi itu, cepat atau lambat, dan Robyn tidak bisa memilih, karena mereka berdua bukanlah pilihan. Robyn menggenggam erat gagang pintu kamar, kemudian membuka pintu secara perlahan. Robyn berjalan perlahan menuju Uli yang duduk didekat jendela, melihat kearah luar jendela, merenung. Seandainya Robyn bisa membaca pikirannya, Robyn akan mencuci otaknya, atau bahkan sejak awal, Robyn seharusnya tidak memperbolehkan Uli untuk meneruskan karirnya setelah menikah.
Robyn mendekat dan memeluk Uli dari belakang. Uli hanya menengadah dan menitikkan air matanya.
"Aku gak mau anak ini, mas. Tolong aku, aku gak mau", ucapnya yang kemudian menangis tersedu, Robyn mencium rambutnya dan meneteskan air mata, ia harus mencari jalan keluar secepatnya.
"Lia gak papa. Tapi, memang begitu, ketika otaknya terangsang untuk mengingat sesuatu, akan terjadi pening hebat. Jadi, ini lumrah terjadi dan gak perlu khawatir", ucap Ali, kemudian menghela nafasnya, Robyn hanya saling menatap dengan Ali, sedangkan Odelia sibuk dengan memegang kepalanya dan mencoba apa yang tadi ia hampir ingat,
"memangnya kira-kira, aku lupa apa ya, om?",
"Nah itu, yang kamu harus ingat, karena kan om gak tau apa yang terakhir kamu lihat atau kamu rasakan",
"Terakhir kan kepleset di toilet, ya pa?", sontak Robyn kaget dan mengangguk,
"Well, if that is what you remember. Don't force it, give yourself time, okay?", ucap Ali sambil mengelus pundak Odelia, ia mengangguk. Robyn mengikuti langkah kaki Ali keluar dari ruangan,
"Dia berhasil, Li", terdengar nada bahagia di ucapannya seraya menutup pintu,
"No, it is far from close. Jangan berharap terlalu banyak dan jangan memaksakan. Kamu lihat kan, betapa susahnya dia mengingat sesuatu?- Oiya, by the way, kamu udah ada bodyguard yang baru buat Lia?",
"Oh iya! Tadi dia bersamaku, tapi pas Lia teriak-teriak, dia lari keluar ruangan. Entah kemana, kayaknya-",
"Pak", ucap salah seorang lelaki dari belakang Robyn, terengah-engah,
"Maaf pak sebelumnya, tadi saya sedang mencari dokter, tapi ternyata dokternya sudah disini. Saya belum pernah ke rumah sakit ini sebelumnya, jadi untuk keadaan darurat saya tidak tahu bahwa sudah menggunakan tombol",
"It's okay. Oiya, perkenalkan ini Ali. Ali- Zach- Zach- Ali. Ali ini dokternya Odelia, jadi selain dia, dilarang masuk untuk melihat keadaan Odelia, dan semua orang yang mau jenguk Odelia, harus izin dulu dengan saya, oke?", ucapnya untuk perkenalan singkat,
"Siap, pak",
Kemudian, Robyn dan Zach masuk ke ruangan. Odelia masih dalam posisi yang sama semenjak Ali dan Robyn keluar ruangan. Dengan menatap keluar jendela, kemudian memandang Zach.
"Who are you?", ucapnya dengan nada pelan,
"I'm Zach. It's a pleasure to meet you, Miss", ucap Zach yang masih berdiri di samping Robyn, menatap Robyn yang kemudian memberikan kode untuk mendekati Odelia,
"Sekarang papa bisa cari bodyguard bilingual? Kenapa gak dari kemarin sih, pa?", melihat Zach mendekat, Odelia terkekeh dan langsung memberhentikannya "Stop, right there. No need to get any closer. Kamu bisa bahasa saya bukan berarti saya suka sama kamu", ucapnya yang kemudian merubah posisinya, menjadi posisi tertidur, Zach mundur perlahan dan mengangguk,
"Don't need to be rude, Odelia. Dia ini masih baru, bersikap baik ya? Kalo mau cepet-cepet pulang, kamu harus baik-baik sama dia", ucap Robyn yang mendekat dan mencium keningnya, Odelia hanya menghela nafas dan berkata "Apa hubungan-",
"Ssshh... Saya tinggal kalian berdua, saya ada urusan sebentar. Bye, honey, remember what I said", ucap Robyn seraya mencium kening Odelia, dan meninggalkan ruangan.
Odelia menghela nafas dan melihat ke arah Zach yang masih berdiri di tempat dia sebelumnya, tidak berubah. Odelia memandangnya heran, Zach hanya tersenyum. 'Senyumnya manis juga' fikirnya, ia langsung berpaling dan memandang ke arah luar jendela. Beberapa saat kemudian, Odelia memandanginya melalui bahunya, 'from head to toe, he's not bad, not at all.... Mikir apa sih aku ini' fikirnya.
"Miss butuh sesuatu?", sepertinya Zach menyadari sedaritadi Odelia memandanginya, Odelia berdehem,
"Gak perlu pake miss, nona, atau madam, atau apapun itu. Panggil aja Odelia, it's okay, lagian kita kan seumuran, udah kayak temen aja, jangan anggep saya majikan kamu atau apa, dan jangan pake jas, gak perlu", Zach hanya mengangguk kemudian melihat pakaiannya, dan tersenyum kecil,
"Saya cuma butuh temen-temen saya, saya kangen sama mereka", ucapan Odelia mengubah atmosfir disekitar mereka, ia melihat keluar jendela, tanpa melihat ke arah Zach, mungkin yang sebenarnya ia butuhkan adalah teman untuk mencurahkan isi hatinya yang sedang kalang kabut, tidak menentu, Odelia tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.
Air mata jatuh membasahi kedua pipi Odelia, rasanya begitu sakit di dadanya, tapi ia tidak tahu, apa yang sakit, karena apa, atau siapa, kenapa? Terdapat banyak pertanyaan didalam lubuk hatinya. Odelia hanya bingung harus bertanya kepada siapa. Odelia menangis sesegukan, tanpa ia sadari ia memukul dadanya dengan tangan kanannya. Zach bergegeas menahannya.
"Kamu kenapa?", Odelia hanya menggeleng pelan sambil terus memukul dadanya,
"Sakit... Aku bingung, aku kenapa? Aku kenapa?! Aku kenapa, Zach?!", ucapnya kemudian berteriak, Zach hanya bisa menahan kedua tangan Odelia,
"Aku tadinya baik-baik aja, Zach. Kenapa aku begini? Kenapa aku menangis? Kenapa aku sedih? Kenapa sesakit ini?", ucap Odelia berbisik dan menangis tersedu, Zach mencari tombol merah yang dimaksud oleh Robyn, setelah menemukannya, Zach langsung menekannya. Dokter Ali berlari memasuki ruangan, kemudian melihat kondisinya, Zach keluar ruangan dan menunggu didepan pintu. Penglihatan Odelia perlahan menghilang, seperti slow motion, melihat Zach perlahan keluar ruangan, dan dokter Ali mendekat, kemudian penglihatannya gelap. "Aku kenapa?" bisiknya sebelum ia jatuh pingsan.
YOU ARE READING
RIGHT HERE
Ficção AdolescenteWARNING!! +17 ============= Malam itu mengubah segalanya. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang sudah terjadi? Apa yang aku lupakan?