Haiiiii... Aku Priska. Usiaku 21 tahun saat kutulis kisah ini. Kenapa baru sekarang kutuliskan? Pertama, ini adalah 'my first day' di Yogyakarta setelah kuputuskan untuk hijrah dari kota kelahiranku, Bekasi. Kedua, baik masa kecilku maupun masa remajaku penuh dengan kegagalan dan rasa sakit. Kupikir akan lebih menyenangkan bila berbagi masa yang (kuharap) lebih baik di kota ini. Dan kisahku pun dimulai...
Aku memejamkan kedua mataku, membiarkan hujan merintik di atas jilbab biru muda yang kukenakan. Rinai hujan pun menyamarkan aliran air yang kini membentuk sungai di pipiku. Pandanganku mulai berkabut, sama dengan pikiranku. Baru saja aku hendak menutup wajahku dengan tangan, namun ada tangan lain yang terlebih dahulu mengusap air mataku.
"Kamu nangis, Pris? Ada masalah apa? Kamu bisa cerita apapun ke aku. Sini," Edi berucap sambil menyandarkankepalaku di bahunya. Membuatku kikuk dan tersadar. Oh, tidak. Mengapa aku menangis? Bukankah awal kisah ini seharusnya menyenangkan? Aku menggeleng lemah sambil berusaha menguatkan diri. Aku tidak mau terbawa suasana. Terlebih di hadapan pria yang belum lama kukenal.
"Aku gak apa-apa, Mas. Kalo hujan perasaanku emang mellow. Aku iri sama hujan yang memiliki tujuan sama di setiap jatuhnya, gak sepertiku. Just that, but I'm ok" kataku. Entah seperti apa ekspresiku saat mengucapkannya. Sepertinya tidak cukup meyakinkan karena air mataku masih menggenang. Edi menatapku kemudian menggenggam erat salah satu tanganku.
"Pris, semua orang punya space buat kesedihannya. Apalagi kamu perempuan. Sebenernya aku gak suka ngeliat kamu nangis, tapi mungkin ini yang kamu butuhin sekarang. Nangis aja," tutur Edi lembut. Ya Tuhan. Pria yang terpaut usia lima tahun di atasku ini sungguh bijaksana. Membuatku tertegun dan tak lama kemudian membuka suara untuk bercerita.
"Hujan turun di hari ketika papa meninggal. Hujan selalu turun tiap aku disakiti oleh mantan tunanganku dulu. Hujan turun di hari-hari sulitku. Hujan selalu membawaku kembali pada kenangan yang gak menyenangkan buat diingat" tuturku sambil sesenggukan.
Edi menatapku dengan pandang sayang, setidaknya begitu menurut definisiku. Aku yang masih tersedu menarik bagian bawah kaos Edi dengan sebelah tanganku yang bebas, mengisyaratkan agar pria itu mendekat. Edi justru melepaskan genggaman tangannya sebelum kemudian mendekapku. Pelukan sederhana yang mentransfer kehangatan ke dalam hatiku, sehingga tangisku pun mereda. Tidak kupedulikan lagi etika di tempat umum yang memang sedang sepi ini. Kuhempaskan logika yang berteriak bahwa kami belum lama saling mengenal. Aku hanya ingin damai. Berdamai dengan diriku sendiri serta semua kenyataan yang kualami. Kenyamanan seperti ini sungguh sangat kurindukan. Kami pun mempererat pelukan, hingga cahaya kilat yang begitu dekat menyadarkan kami. Membuat kami beringsut memberi jarak untuk kemudian duduk bersisian. Kami terdiam sambil menatap senja di langit kota pelajar.
Kami masih terdiam. Terlintas ingatan seminggu lalu saat kami duduk bersebelahan dalam kereta api tujuan Yogyakarta. Kami membicarakan banyak hal dalam perjalanan 8,5 jam itu. Tak kusangka kami bertemu kembali secara tidak sengaja disini, di objek wisata Kaliurang. Kami pun memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Baru saja beberapa menit berlalu, hujan turun dan mengubah mood ku.
Aku menengok dan mendapati Edi sedang menatapku. "Ada yang salah sama mukaku?" ucapku tersipu karena terus diperhatikan Edi.
"Iya, mukamu kusut" Edi memasang ekspresi kesal yang dibuat-buat. Aku pun tersenyum melihatnya.
"Sekarang udah lebih baik?" tanyaku, masih dengan senyum. Edi pun membalas senyumku.
"Begitulah. Kamu tahu, Pris? Setiap orang hidup dengan masalahnya masing-masing. Kehidupan dan cinta cuma sebatas cerita tentang meninggalkan dan ditinggalkan, selalu begitu. So, kamu harus mampu bangkit dan mencoba untuk menjadi lebih baik. Cukup buat mereka mengerti kalo kamu pantas untuk dipertahankan, bukan ditinggalkan" tutur Edi.
Oh God. Pria ini bahkan tidak bertanya ini-itu perihal mengapa dan bagaimana. Sungguh sederhana tapi mengena cara berpikirnya. Aku tersenyum kembali, kali ini lebih lama. "Mungkin aku harus mulai dengan cari pekerjaan baru" ucapku lirih.
"Kerja? Bukannya kamu ke Yogya mau kuliah?" tanya Edi. Alisnya berkerut.
"Iya. Tapi aku mau sambil kerja sampingan juga. Optimalisasi waktu, biar gak ada yang kebuang percuma" ucapku.
"Oh, kalau gitu kamu boleh kerja di tempatku. Itu juga kalau mau" Edi berkata.
"Di tempatmu? Bukannya kemarin kamu bilang kalo profesimu guru matematika SMA? Mana bisa aku kerja disana, aku bukan lulusan sarjana," aku berkata dengan gelisah, menatap langit jingga yang mulai pudar.
"Aku punya bisnis kecil-kecilan. Waktu kuliah, aku ikut Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan bareng temenku dari Program Studi Teknik Informatika. Proposal kami lolos dan kami dapet dana awal buat ngebangun unit bisnis yang bergerak di bidang sablon dan desain. Jujur, akhir-akhir ini kami mulai kesulitan manage bisnis berdua, karena temenku baru aja diterima jadi dosen di universitas tempatmu daftar kemarin" jelas Edi. "Kalau kamu gak keberatan, besok aku bisa anter kamu kesana. Sekarang kita pulang dulu, udah mau maghrib" sambungnya.
Aku pun mengangguk tanda setuju. Tanpa kusadari pelangi menghias langit di belakangku.
***

YOU ARE READING
Adakah (Rasa) yang Salah?
Fiction généraleHaiiiii... Aku Priska. Usiaku 21 tahun saat kutulis kisah ini. Kenapa baru sekarang kutuliskan? Pertama, ini adalah 'my first day' di Yogyakarta setelah kuputuskan untuk hijrah dari kota kelahiranku, Bekasi. Kedua, baik masa kecilku maupun masa rema...