Rindu Terakhir

10 1 0
                                    

Langkahku terhenti tepat di depan sebuah kopitiam terkenal yang tampak ramai oleh pengunjung. Beginilah pagi di kota Batam, terlebih hotel tempatku menginap tidak jauh dari pusat aktifitas warga kota, daerah ini namanya Nagoya. Deretan kedai kopi berjejer di sepanjangan lorong di sini. Aku menemukan meja kosong di sudut ruangan, tepat bersebelahan dengan segerombolan bapak-bapak tua warga Tionghoa yang tengah bercakap-cakap dalam bahasa mereka.

Entahlah, aku hanya rindu kopi susu dan kaya toast dari kedai kopi ini. Sudah dua tahun sejak aku meninggalkan kota ini, kebetulan aku berkesempatan datang lagi ke sini, jadi kenapa tidak untuk menikmati rasa itu lagi. Tiba-tiba kenangan tentang Rasta membanjiri ingatanku. Di kedai kopi ini banyak kenangan kebersamaan aku dan Rasta. Kopi susu dsan kaya toast adalah favorit kami berdua.

Di hadapanku kini ada secangkir kopi susu, dan seporsi kaya toast, rasa yang aku rindukan dua tahun ini, yang tidak aku temukan dimanapun. Sekelebat bayangan Rasta kemudian seolah menari di pelupuk mataku.

Rasta dengan rambut ikal gelapnya, tubuh yang tinggi menjulang dengan sepasang tatapan hangat yang menyesatkanku selama dua tahun. Ditambah dua tahun keterpurukanku karena gagal mengikis habis rasa untuk Rasta. Ya, empat tahun yang indah, karena ada Rasta di benakku. Menemaniku dalam diam dari sudut hatiku tempat ia bersemayam dengan tenang, karena aku tidak pernah benar-benar ingin menghapusnya.

Sepanjang mata memandang tampak ruko-ruko tua, dengan berbagai macam jenis usaha, juga kedai kopi sebagai ciri khasnya. Setidaknya setiap lorong punya tiga sampai lima kedai kopi. Pagi di kota Batam adalah pagi yang sibuk, lalu lalang kendaraan membelah jalan, seolah berpacu sampai di tempat tujuan. Setiap persimpangan jalan sepanjang kawasan Nagoya ini penuh, kendaraan menumpuk. Aku pernah menjadi bagian dari kesibukan kota ini, dulu.

"Tari? Kamu Tari bukan?" sapa seorang. Aku yang tengah menikmati kaya tpastku kemudian mendongakkan kepala melihat ke arah suara yang menyapaku. Perempuan cantik, kira-kira sebaya denganku diakhir dua puluhan. Aku mengerenyitkan kening sembari mengingat, apakah aku mengenal perempuan yang ada di hadapanku ini.

"Iya, bener, saya Tari. Maaf mba, saya lupa siapa mba. Mba kenal saya?" jawabku sedikit menjelaskan. Tentu saja sambil terus mengingat siapa gerangan perempuan ini, dari nada suaranya ia tampak yakin sekali ketika menyebut namaku.

"Kamu lupa ya? Aku Dewi, aku teman sekantornya Rasta, dulu waktu kami masih sama-sama di galangan kapal!" ujarnya. Dewi? teman Rasta? aku memandang wajahnya, mencoba dengan sangat keras mengingat siapa dia. Samar-samar aku mulai mengingat sosok Dewi. Aku pernah dikenalkan oleh Rasta, tapi aku lupa dimana. Hampir empat tahun berlalu dan aku adalah Tari si pelupa.

"Eh, kamu sendirian? aku boleh duduk di sini?" tanya Dewi. Aku mengangguk tanda setuju, kemudian ia meletakkan tas dan kantong plastic bawaannya. Tampaknya ia membeli sarapan untuk take away, tapi kenapa Dewi malah tertarik duduk di mejaku sekarang. Aku mengalihkan perhatianku dengan menyesap kopi susuku yang hampir dingin.

"Tari, kamu bukannya udah balik ke Jakarta? Surprise sekali bisa bertemu kamu lagi di Batam sini!"ucapnya. "Lagi ada kerjaan di sini? atau cuma jalan-jalan aja? semacam mengulang memori gitu?" ucapnya lagi. Duh, perempuan ini terlalu to the point banget. Aku sampai bingung mau menjawab pertanyaannya. Tapi aku berusaha tetap tenang dan tidak terpancing, sepertinya Dewi punya sesuatu yang ingin ia sampaikan kepadaku.

"Ah, kamu bisa aja Dew. Aku ada seminar dua hari di sini. Jadi aku extend sehari sebelum kembali ke Jakarta. Yah, setidaknya mau cuci mata dulu di sini!" jawabku. "Kan, sayang udah sampai di Batam gak belanja-belanja dulu Dew!" jawabku lagi. Kemudian aku mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum, mudah-mudahan Dewi tidak menyadari aku sedikit memaksakan senyumku.

"Oh!" ujarnya singkat. Kemudian raut wajah Dewi sedikit berubah, tampak sekali ia tengah memikirkan sesuatu.

"Kenapa Dew? ada sesuatu yang mengganjalmu?" tanyaku dengan sedikit hati-hati. Raut wajahnya tampak makin abu-abu, sikapnya mulai terlihat canggung.

"Mmmhh, Tari maaf ya sebelumnya jika ucapanku nanti gak berkenan di hati kamu. Aku menyimpan sebuah cerita yang mungkin akan buat kamu kaget dan sedih!" katanya hati-hati. Dewi kemudian menghela nafas panjang, mengembuskannya perlahan, seolah mencari kekuatan untuk menyampaikan sesuatu yang menurutnya tidak mengenakkan itu.

Aku hanya melongo, menatap wajah Dewi yang makin abu-abu. Apakah sebegitu tersiksanya ia menyimpan cerita itu? Sesuatu tentang Rasta? teka-teki di balik Rasta memilih menerima pekerjaan di Singapore kala itu? atau misteri lain yang tidak terpikirkan olehku sebelumnya? Kenapa aku harus bertemu dengan Dewi, di saat aku tengah dalam usahaku melupakan Rasta. Dua tahun ini aku tersiksa, pelan-pelan menghapus semua kenanganku dengan Rasta, karena aku sadar betul tidak aka nada celah untukku kembali pada Rasta.

"Tar, aku ingat betul sore itu Rasta kembali ke kantor dengan wajah muram. Dia hari itu memilih memutuskan hubungan kalian, kan?" ujar Dewi mencoba meyakini ingatannya. Bagaimana mungkin aku lupa sore itu, sore hari dengan gerimis aku menerima keputusan Rasta untuk putus dengan berat hati. Dengan alasan yang buatku terlalu di buat-buat, aku menelan bulat-bulat kekecewaanku.

Rasta memaksaku mundur dari hidupnya setelah dua tahun bersama. Aku tahu betul ada sesuatu di balik keputusan tergesa-gesa Rasta sore itu.

Bagaimana tidak, dia mulai menjauhiku hanya seminggu sebelum akhirnya ia memutuskan hubungan kami.

"Rasta terpaksa Tar, Rasta terpaksa memutuskan hubungan kalian karena Kiki terlanjur hamil. Kejadian itu adalah tragedi setelah pesta ulang tahun Pak Edo, Tar." Tampak sekali Dewi berhati-hati dengan ucapannya. "Aku dicurhati Rasta, sehari sebelum kalian putus, karena menurut Rasta, kejadian seusai pesta ulang tahun Pak Edo itu hanya karena mabuk, Tar!" jelas Dewi. Kemudian ia menunduk lama sebelum kemudian ia mulai lagi. "Sore itu Rasta tampak terpukul mengetahui Kiki hamil, di lain hati dia sangat mencintai kamu, Tar. Tapi ia harus mengambil keputusan dengan cepat karena Kiki dan orang tuanya mendesak Rasta untuk bertanggung jawab!" jelas Dewi lagi. Kemudian, "Aku merasa bersalah, karena malam itu membuat Rasta mabuk, Tar" ucapnya lagi. Dewi menghela napas panjang, seolah lega telah menceritakan apa yang menjadi bebannya selama ini.

Ada puluhan anak panah seolah tengah tertancap tepat di jantungku. Aku tidak membayangkan akan mendengar cerita seperti ini, sepagi ini. Ini adalah malam terakhirku di Batam, sungguh aku hanya ingin mengenang Rasta dalam secangkir kopi susu dan sepotong kaya toast. Kalaupun aku masih berjuang melupakan rasaku untuk Rasta, aku tidak pernah terpikir untuk mengulang kebersamaan kami. Bagiku Rasta adalah masa lalu yang indah, yang sulit aku lupakan. Perkara ternyata inilah di balik keputusan Rasta meninggalkan aku adalah sebab lain yang mau tidak mau harus aku terima kini.

Aku menghela napas berat, mencoba dengan susah payah menetralkan pikiranku, raut wajahku. Sungguh ini adalah kejutan yang tidak pernah ku sangka. Bagiku keputusan Rasta sore itu dua tahun yang lalu, adalah kekecewaan yang dalam. Tapi dua tahun belakangan ini aku pelan-pelan tetap berjuang melupakan rasaku untuk Rasta.

Pagi ini seiring mentari yang kian tinggi dengan sengatan sinarnya, aku harap rasaku buat Rasta juga ikut menguap. Tidak ada lagi alasan untukku memelihari rasa untuknya, benar-benar harus move on.

"Terima kasih Dewi, aku jadi tahu alasan Rasta yang sebenarnya sore itu," ujarku. Sesaat kemudian Dewi pamit dengan wajah yang tidak lagi abu-abu.

Aku menyesap sisa kopi susu-ku yang kali ini sudah dingin, dan potongan terakhir kaya toastku yang dingin. Cangkirku sudah kosong, juga piring di depanku. Lamat-lamat aku berharap rasaku untuk Rasta benar-benar harus berakhir di sini, pagi ini, hari ini. Tidak ada lagi alasan untuk merinduinya kini. 


Kumpulan Flash FictionWhere stories live. Discover now