Satu

113 9 0
                                    

"Jika hidup ini sepenuhnya takdir maka apa artinya hati dan budi yang diberikan-Nya?"

Dika. Remaja kelahiran Jakarta yang bahkan sudah 10th lebih tidak menikmati kota kelahirannya.

''Nama saya Ardika Adiarsy, biasa dipanggil Dika, pindahan dari SMA Carolus 1''

''Ganteng bgt sih''
''SMA Carolus? Astaga, pantas aja rupawan''
''Anak kaya boy, lihat saja sepatu dan tasnya'' berkomentar sambil menyenggol teman sebangkunya, ''ya jelas orang kaya, dia kan dari Sma Carolus'' temannya menanggapi.
''Pasti kena DO, penampilannya saja tidak terurus begitu''.

Kelas mendadak sangat gaduh, Dika sudah mulai menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Maklum saja jika ia cukup populer disana, selain karena SMA Carolus dikenal sebagai SMA mahal dan elite, Dika juga termasuk orang yang cukup tampan.

''Ada pertanyaan?'', Guru setengah baya itu menghentikan keramaian dalam kelas. ''Oke, kamu bisa duduk''.

Hari pertama Dika di sekolah baru. Dika memilih duduk bersebelahan dengan remaja laki laki yang duduk di pojok kanan belakang, orang yang penampilannya tak jauh berbeda darinya.

Ya, dan benar saja kata perempuan di pojok kiri depan tadi, Dika terkena drop out dari SMA Carolus 1. Sudah 2th ia duduk di bangku kelas 10 SMA tersebut, dan pada akirnya dikeluarkan.

''Aku Henri, teman Doni, tau kan? Dia dulu satu kelas denganmu''
''Ooo'', Dika berguman ''Dika'', dan melanjutkan dengan senyum seadanya.

Ya memang, Dika punya banyak sekali teman di SMA Carolus. Begitu teman temannya tau bahwa ia terkena dropout dan pindah ke SMA Bintang Cahaya, beberapa teman yang mempunyai kenalan disana 'menitipkan' Dika, dan memberitahu beberapa orang di SMA Bintang Cahaya agar Dika lebih mudah beradaptasi.

Tunggu. Tunggu dulu, tempat duduk ini? Membuat Dika teringat pertemuan pertama dengan sahabatnya yang juga terlambat saat hari pertama MOS di SMA Carolus. Saat itulah Dika bertemu dengan sahabatnya, Mahendra Wiranjaya a. k. a Mahen.

--

Mereka harus lari mengelilingi lapangan lebih dari 3x untuk mendapatkan 'tiket' masuk kelas dari kakak OSIS. Dengan tenaga yang tersisa, napas yang tersengal, serta guratan kumal di wajah, mereka masuk kelas dan memilih tempat duduk di pojok kanan belakang yang kebetulan masih kosong. Alasannya cukup sederhana, agar mereka bisa tidur dan rehat sejenak.
"Mahen'' remaja yang menyebut dirinya Mahen tadi menjulurkan tangannya.
''Aku Dika, Dari Smp mana?''
''Smp Yogabakti, kamu?''
''Smp Persada 14''

MOS usai, sebagian besar siswa berteriak kegirangan dalam hati mereka. Seusai MOS, kelas kembali diacak dan nama mereka lagi - lagi ada pada satu kelas yang sama!. 

"lah, kamu kelas ini juga?" Mahen bertanya sambil mengajungkan jari telunjuknya pada Dika
"iyeee..." Dika jawab malas malasan "kebiasaan ya orang udah jelas masih basa - basi ditanyaiin, kayak gaada yang lebih berbobot aja pertanyaanmu" melanjutkan sambil menaruh tas di meja.
" jika 3log2 = a, maka 3log12 = ...?" Mahen sudah di sebelah Dika.
"HAH?" Dika reflek megerutkan dahi.
"Nah kan, sok sokan sih minta soal lebih berbobot. 2a + 1 gembel!" Mahen tertawa dengan mata sipitnya yang makin tak terlihat.
"Gak jelas!"

Beberapa hari baru berlalu mereka langsung sangat akrab. Mengalir begitu saja, seperti sungai yang sudah tau kemana mereka akan bermuara, ke tujuan yang sama satu sama lainnya.

Mungkin karena kesamaan sifat? Kesamaan nasib? Atau takdir? Entah sepertinya Dika kurang percaya takdir.

Jika hidup ini sepenuhnya takdir maka apa artinya hati dan budi yang diberikan-Nya?
Hidup ini pilihan bukan?

Seperti Dika dan Mahen yang kerap membolos bersama untuk pergi ke kota tetangga yang lebih menarik atau sekedar ke bukit di tengah kota menikmati fajar hingga petang. Kadang hal itu menjadi pilihan mereka saat mereka mulai suntuk dengan kemonotonan di sekolah.

-Jangan lupa kasih kritik dan sarannya di kolom komentar!, aku butuh banget saran dan kritiknyaa... Jangan lupa kasih voting juga ya! -

Aku akan kasih vote juga untuk karya kaliann
Thanks!!!!

Harap Dibalik GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang