Three(3)

19.5K 303 48
                                    

        "Kenapa kalian tidak mengumpulkan tugas?" Sesampainya di kelas 10-6, alhasil mereka sekumpulan anak-anak yang dapat panggilan supaya menemui Bu Dian langsung diberondong dengan seribu satu pertanyaan menjebak; menjebak, kalau dijawab salah, kalau tidak dijawab juga salah. Karena guru memang selalu benar.
"L-lupa Bu," jawab Orlin lugu.
"Lupa-lupa! Enak ya kamu jawabnya." Bu Dian menatap Orlin tajam. "Kamu juga, sepertinya saya tidak memanggil kamu ke sini," ujarnya melirik Salma
"Salma takut, Bu, kalau sendirian di kelas. Makanya ikut." Orlin yang menjawab. Salma yang ada di samping Orlin hanya bisa diam tanpa suara.
Sewaktu Bu Dian marah di depan kelas yang membuat seisi kelas 10-6 hening, tiba-tiba muncul seorang anak cowok yang baru saja datang dengan membawa tas ransel di punggung. Salma terhenyak saat melihat cowok itu. Dia... cowok yang tadi pagi menolongnya masuk ke gerbang smaping. Iya. Benar, tidak salah lagi. Salma masih ingat wajahnya.
"Permisi, Bu." Cowok itu masuk, tanpa dosa, tenang, tanpa sekalipun terusik dengan kemarahan Bu Dian.
"Kamu juga, kenapa baru datang?!"
"Tadi abis disuruh Pak Rudi, Bu."
"Ngapain?"
"Selamat siang, Bu Dian." Pak Rudi, guru yang bertugas di bidang kesiswaan muncul di belakang cowok itu. "Tadi saya melihat Nathan dan anak-anak kelas 12 sedang merokok di kantin belakang, jadi mereka saya hukum beberapa menit berjemur di bawah tiang."
"Dengar kan, Bu? Saya nggak salah. Saya tuh capek terus-terusan disalahin," jawabnya dengan nada seakan dirinya murid yang paling teraniaya
"Diam kamu, Nathan!"
Nathan.
Salma kaget mendengar nama itu, jadi... nama cowok itu... Nathan.
"Lain kali kalau saya melihat kamu merokok lagi, hukumannya akan lebih dari ini. Sudah sana, duduk di kursi kamu!" Pak Rudi menggelengkan kepalanya. "Terima kasih Bu Dian, silakan dilanjutkan."
         Nathan baru saja ingij duduk di kursinya, tapi dihentikan dengan suara gertakan keras penggaris besi di tangan Bu Dian yang dipukul ke meja murid di depannya. "Siapa yang memberi perintah kamu untuk duduk?"
        "Pak Rudi, Bu," jawabnya asal celetuk.
        "Kemari kamu!"
        Nathan mendengus, dengan ogah-ogahan, dia berjalan ke depan dan sempat bertatapan dengan sepasang bola mata milik Salma yang menatapnya terkejut. "Ibu tuh kenapa bawaannya marah terus sih kalau ngelihat saya, kasian sama anak Ibu yang ada di dalem." Nathan menunjuk perut Bu Dian yang masih hamil lima bulan dengan dagunya. "Nanti gantengnya mirip sama saya, lho."
        "Amit-amit jabang bayi!" Tidak sadar, refleks Bu Dian mengusap perutnya dengan, membuat seisi kelas tertawa geli. "Diam! Suruh siapa kalian tertawa?" teriaknya lagi dan seisi kelas kembali hening, tapi Nathan justru tersenyum samar, sambil melirik Salma yang ikut tertawa. "Kamu ikut berdiri di sini. Eh, siapa suruh di situ!" Bu Dian memelotot ke arah Nathan yang ingin berdiri di samping Salma. "Kamu di sini!" Dia menunjuk ke arah kiri, samping mejanya.
        Nathan melengos tapi tidak membantah, dia menuruti perintah Bu Dian. "Besok-besok, kalian berpikir dua kali ya, kalau tidak mau saya hukum seperti ini. Sudah, sekarang kalian  boleh pergi. Karena kali ini amarah saya sudah berpindah pada anak ini." Penggaris Bu Dian terarah pada Nathan. "Kenapa kamu senyum-senyum, kamu kira ini lucu?"
       "Karena kalau kata guru ngaji saya, senyum itu sedekah, Bu. Senyum itu ibad---"
       "Saya tahu! Kenapa jadi kamu yang menggurui saya? Kamu kira saya anak kecil?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear NathanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang