satu

74 18 20
                                    

Layaknya anak remaja lain, hidupku juga hampir tidak pernah terlepas dari yang namanya pekerjaan rumah. Dulu--waktu awal dilaksanakannya kurikulum tiga belas, pemerintah menyemangati kami yang bakalan pulang sore dengan embel-embel bebas tugas alias pekerjaan rumah.

Tapi, yah. Tau sendiri, kan?

Aku bahkan sering sekali tidak bisa tidur nyenyak. Ups, bohong ding. Maksudku, aku selalu khawatir kalau bangun terlambat lantaran banyak sekali tugas-tugas yang menumpuk, dan tugas-tugas itu lebih sering aku kerjakan menit min bel masuk berbunyi.

Seperti malam ini.

Sebenarnya banyak sekali tugas-tugas yang harus aku kerjakan. Saking banyaknya, aku sampai bingung mau mengerjakan yang mana dulu. Untunglah sekarang sedang malam minggu. Niatnya sih, aku mau menyicil tugas-tugas itu supaya besok malam aku tinggal tidur nyenyak. Tapi, sekarang aku malah sedang malas-malasan diatas ranjang.

Ketika sedang asyik menatap langit-langit kamar dengan pikiran-pikiran super random, Ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Ibu menenteng plastik hitam, lalu meletakkannya di sebelah tubuhku yang sedang terbaring lemas tidak berdaya (alias malas). Plastik hitam itu jatuh mengenai sedikit lenganku.

"Eh, apaan ini, Bu?"

Aku menatap Ibu dengan bingung, sedangkan Ibu kini berkacak pinggang dengan raut menyeramkan. Hiiiyy. Untung naluriku bisa berfungsi dengan cepat. Pasti ada yang tidak beres. Aku langsung berjengit, lalu memaksakan tubuhku agar bisa duduk tegak--posisi siap dimarahi.

"Kamu ini! Kalau habis renang, bajunya langsung dicuci sendiri, dong! Udah berapa kali Ibu bilang?! Kamu ini perempuan atau bukan, sih? Kok ya, joroknya kebangetan!"

Tuh. Bener kan..

Aku hanya bisa menunduk kalau Ibu sudah mencak-mencak begini. Tapi tunggu, kayaknya ada yang salah deh. Renang?

"Kamu kira kalo plastiknya ditaroh gitu aja deket keranjang cucian bakal kecuci sendiri? Enak aja, kamu tuh udah besar, Nduk. Udah bukan waktunya kamu malas-malasan gini. Mesin cuci ada, baju cuma tinggal dimasukin aja dan bum. Udah kecuci deh tuh. Kamu itu harus bersyukur, Ibu dulu kalo mau nyuci harus nenteng-nenteng keranjang sama sabun cuci ke kali dulu. Nggak kaya sekarang-"

"Bu?"

"Kamu ini! Jangan nyela orang tua ngomong! Kebiasaan buruk jangan diulang-ulang dong. Harus Ibu bilang berapa kali, sih?!"

Aduh. Kepalaku berdengung. Ibu kalah sudah marah-marah tidak akan berhenti-berhenti kalau aku tidak berani menyela. Yah, aku tau ini salah sih. Tapi aku juga tidak mau menjadi tersangka tidak bersalah. Lagi pula, memang siapa yang habis renang? Seingatku, terakhir kali aku berenang itu 2 bulan lalu. Aku tidak terlalu suka berenang karena aku alergi matahari. Itulah kenapa aku lebih suka pakai baju panjang-panjang kalau keluar rumah.

"Hey! Kamu ndengerin Ibu ngomong nggak, sih?"

"Eh, iya Bu?"

Ini juga salah satu kelemahanku kalau sedang dimarahi. Pikiranku jadi mudah blank. Wajahku juga sinkron dengan isi pikiranku. Blank juga. Cengo. Seperti tidak ada kehidupan.

"Duh! Yaudah! Pokoknya kamu cuci semua baju basah didalem kantong plastiknya. Jangan kelamaan didiemin nanti bajunya keburu apek."

Ah! Aku ingat. Sekitar 4 hari lalu, Zhilan--adikku, meminjam baju renangku. Pantas saja Ibu mengira aku yang habis renang. Cih, padahal hanya bajuku saja yang berenang. Akunya kan tidak.

"Bu! Yang habis renang bukan Arumi!" akhirnya aku bisa mengucapkan kalimat ini setelah mengalami ke-blank-an sesaat.

Ibu yang sudah hampir sampai di ambang pintu menoleh, "Jangan coba-coba bohong sama Ibu."

"Serius Bu, itu Zhilan," aku memelas. Apa wajahku yang menyedihkan ini masih kurang meyakinkan?

"Halah. Ga usah bawa-bawa adikmu. Jelas-jelas Ibu tau banget itu baju renangmu."

Hhh. Ternyata memang tidak.

"Justru ituuuu, Bu. Zhilan pinjem baju renangnya Arumiiii," aku mencoba meyakinkan Ibu sekali lagi.

"Nggak usah alesan."

"Tapi B-"

Jebret

Huft... Kadang, hidup itu memang harus seperti ini, Arumi.

***

Karena ulah Zhilan, sekarang aku sedang duduk di depan ember berisi gunungan pakaian yang harus dicuci. Iya, karena Ibu mengira aku hanya mencari alasan, Ibu sekalian menghukumku untuk menyuci seluruh pakaian kotor dan sialnya, kebetulan sekali mesin cucinya tiba-tiba rusak. Yah, tidak sepenuhnya rusak sih. Tapi dengan apalagi aku mendeskripsikan mesin cuci yang tidak mau menyala dengan kalimat yang simpel.

Padahal hari ini hari minggu, tapi aku harus menghabiskan pagiku yang indah ini dengan menyuci baju. Kurang mulia apalagi aku ini coba?

Sementara aku menyalakan kran dan menaburi pakaian dengan bubuk detergen, tiba-tiba Zhilan berdiri di sebelahku.

Aku menoleh kearahnya dan memberinya tatapan penuh kebencian. Mau apa lagi dia? Tidak puas membuat telapak tangan kakaknya yang berharga ini jadi kasar karena menyuci?

"Apa?!" tanyaku gusar.

"Dih. Sa ae kali. Aku cuma mau ngambil sendal doang kok. Kemaren dimana plastik item yang isinya baju renang?"

Diingatkan hal itu, aku tambah kesal. Rasanya aku ingin sekali menimpuk Zhilan dengan cucian-cucian ini. Tapi, aku tidak akan melakukan itu. Aku masih mau jadi remaja normal meski dengan berbagai tugas menumpuk daripada dikurung dalam jeruji besi.

Aku menarik napas panjang. Berusaha menahan segala emosi yang membuncah dalam dada.

"Tuh, mbak taroh di pojok situ."

Zhilan berlari kecil menuju arah yang kutunjuk.

"Mana? Nggak ada."

"Ada disitu."

"Nggak ada ih."

Aku lagi-lagi menarik napas. Sabar. Tarik napas. Tahan. Lepas. Tarik napas. Tahan. Lepas.

Dengan langkah berat dan penuh kesabaran tinggi, aku menyusul Zhilan dan turut mencarikan sandal yang beberapa menit lalu baru kuletakkan disitu. Baru saja langkahku sampai, aku langsung bisa menemukan sandal yang dimaksud Zhilan.

"Itu apa?" tanyaku lembut. Kira-kira wajahku menampilkan ekspresi seperti ini -> ☺

"Sandal, Mbak."

"Terus?"

"Tadi nggak ada, Mbak."

"Oh ya?" Lagi-lagi aku menampilkan ekspresi seperti ini -> ☺

"Hehehe... Mbak dah cocok deh jadi Ibu. Barang ilang pasti ketemu. Dah deh, nikah aja sana. Zhilan doain Mbak dapet suami yang baik. Btw Zhilan pergi dulu deh ya, Mbak. Makasih lho, sandalnya jadi ketemu," Zhilan buru-buru memakai sandal swalo hijau itu, lalu berlari pergi menyisakan aku dengan ember cucian yang terpisah jarak sekitar 5 meter.

Iya, aku menyuci di halaman belakang rumah. Makanya Zhilan bisa melakukan adegan lari, dan sekarang giliran aku beradegan malas balik ke ember cucian.

Angin pagi yang sejuk berhembus membelai wajahku. Sepertinya angin sedang berusaha menghibur gadis menyedihkan ini. Terima kasih angin, setidaknya aku merasa ada yang peduli pada kekesalanku pagi ini.

Mas, Sandalmu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang