1.

501 13 3
                                    

Napas Deva terdengar semakin berat. Dia memutuskan untuk berhenti berlari, mengatur napasnya sambil berpegangan tiang listrik disebelahnya. Begitu napasnya kembali stabil, dia memutuskan untuk berjalan pelan.

"Ma..." Sapa Deva begitu dia melewati dapur, menggambil handuk di jemuran taman belakang.

Mamanya bergumam pelan sambil sesekali melirik kearah anaknya itu. Deva berjalan menggambil gelas dan menggisinya dengan air dingin, meneguknya sampai habis dan berlalu ke kamarnya.

Deva berdiri didepan cermin sambil menyisir rambutnya dengan tangan beberapa kali. Setelah yakin rambutnya sudah cukup rapi, dia menggambil kaos putih yang ada diatas kasur dan menggenakannya.Dia berjalan cepat kearah lemari, menggambil salah satu dari kemejanya dan langsung menggenakannya cepat.

"Dev? Sarapan..." Ucap Mamanya begitu Deva muncul dan langsung duduk di sebelah Papanya yang sedang asik menggutak-atik ponselnya.

"Gimana Dev kerjaan kamu?" Papanya sudah melepas kacamata dan memasukkan ponselnya kedalam tas yang ada diatas meja makan. Deva menggunyah sarapannya sambil manggut-manggut.

"Baik pa." Papanya mengangguk senang. Selanjutnya dia sudah kembali sibuk dengan makanannya.

Sudah hampir satu tahun belakangan ini Deva bekerja sebagai karyawan disalah satu perusahaan farmasi di Jakarta Barat. Dan itu semua berkat Papanya yang juga bekerja disalah satu perusahaan farmasi yang masih bekerjasama dengan perusahaan Deva bekerja sekarang.

 "Yaudah pa, ma, Deva berangkat dulu ya." "Hati-hati ya!" Mamanya membenarkan kerah kemeja Deva sambil tersenyum. Deva mengangguk dan tersenyum tipis.

Deva melirik jam tangannya. Jam setengah tujuh. Seperti biasa, jalanan Jakarta, macet dimana-mana. Dia menyandarkan kepalanya disandaran kursi sambil menutup matanya sebentar.

Pikirannya mendadak melayang ke kejadian sewaktu dia masih di Malang. Kota dimana diasempat menuntut ilmu sampai akhirnya dia bisa menjadi sarjana itu.

**

"Sa, aku dapet panggilan interview kerja nih!" Deva kelihatan bersemangat dan menggebu-gebu.

"Serius??? Dimana? Ah aku juga ikut seneng. Akhirnya kamu dapet panggilan juga. Jadi gak perlu lama-lama nganggur deh." Elsa, cewek berambut lurus sebahu itu juga ikut semangat.

"Iya! Di Jakarta. Dua hari lagi aku bakal ke Jakarta buat interview." Raut wajah Elsa mendadak berubah begitu mendengar kata Jakarta.

"Jakarta Dev?" Ulang Elsa sepelan mungkin. Berusaha memastikan apa yang barusan telinganya dengar tidak salah.

"Iya. Jakarta. Jadi, perusahaan ini tuh perusahaan yang masih ada hubungan kerjasama gitu sama perusahaan Papa. Dan kebetulan kata Papa emang disitu lagi di butuhin."

Elsa tersenyum tipis sambil mengangguk. "Gitu ya..."

Deva mengernyit bingung melihat sikap Elsa yang mendadak berubah. "Kamu kenapa sih? Kok kaya gak semangat gitu?"

Elsa mengatupkan bibirnya seraya menggeleng. "Enggak kok... Aku seneng kok kamu akhirnya dapet panggilan..."

Deva menatapnya lekat. "Yakin?" Ucapnya lembut. Elsa mengangguk cepat, tersenyum lebar—senyum paksaan, sambil membalas pegangan tangan Deva.

**

Jam setengah delapan lewat 7 menit, Deva masuk kedalam kawasan kantornya, memarkir mobilnya dan masuk kedalam ruangannya. Bersamaan dengan datangnya Melky, salah satu teman kantornya yang lebih tua sedikit dari dia tapi gaya dan kelakuannya masih sama dengan Deva.   

Bunga Matahari dan Matahari nya {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang