2.

244 7 0
                                    

Deva menggambil ponselnya yang ada di dasbor mobil. Membukanya sambil sesekali menatap ke jalanan. Dia membaca satu alamat yang beberapa menit lalu setelah dia sampai di kantor barunya di Malang ini dikirim Pak Wira.

"Jalan Coklat no. 39B." Deva mengangkat kepalanya dan langsung menekan tombol bel beberapa kali.

"Mas Deva ya?" Ibu-ibu paruh baya dengan dasternya keluar sambil tersenyum ramah.

"Iya bu." Deva balas tersenyum ramah.

"Oh iya iya, masuk mas."

Deva mendapat fasilitas yang lumayan dari kantornya. Rumah kontrakan yang minimalis dan nyaman. Mobil. Dan tentunya gaji yang ternyata lumayan lebih besar di banding dia sewaktu bekerja di Jakarta.

"Oh iya, kalau mas mau jemur baju, diatas situ mas." Bu Yanti menunjuk tangga kecil dari besi yang ada disebelah kamar mandi kecil sebelah dapur.

Deva menaiki tangga kecil itu dengan hati-hati. Begitu dia sampai diatas, dia tersentak kaget mendapati seorang perempuan dengan rambut tidak terlalu panjang dan sedikit bergelombang duduk membelakangi dia disalah satu kursi kayu yang kelihatan sudah rapuh yang ada di pojokan.

 "Loh Ajeng?" Ajeng yang sudah berdiri menatap Deva dengan senyum kikuk itu beralih menatap kearah Bu Yanti dengan ekspresi yang sama.

"Budhe..."

Bu Yanti menghela napas. Kepalanya menggeleng pelan. "Maaf ya mas Deva, ini Ajeng ponakan saya... Dia tinggal di sebelah."

Deva mengangkat alisnya seraya tersenyum tipis kearah Bu Yanti. Di tatapnya kembali Ajeng yang sudah sibuk mengikat rambutnya asal.

"Jeng, ini mas Deva. Yang bakal tinggalin rumah ini sekarang. Jadi kamu gak boleh lagi duduk-duduk disitu ya! Gak enak sama mas Deva nya nanti..." Ajeng menggerakkan bibirnya sambil mengangguk malas.

"Yaudah balik ke kamar kamu sana, kamu gak kuliah?"

"Kuliah budhe, tapi nanti jam 10. Yaudah Ajeng balik kamar dulu."

Ajeng menoleh kearah Deva sambil tersenyum kecil. "Maaf ya mas." Dan detik berikutnya dia sudah melompat ke rumah sebelah yang memang cuma di batasi tembok pembatas yang tingginya tidak melebihi pinggang Ajeng.

**

Deva membuka mobilnya, menggeluarkan koper dan kotak barang-barangnya masuk kedalam rumah. Hari ini dia belum kerja, jadi dia memilih untuk membereskan barang-barangnya dan menatanya.

Deva menoleh kaget begitu mendengar suara berisik dari luar. Dia berjalan keluar, penasaran. Ajeng mengaduh seraya menggusap bahu nya yang tanpa sengaja menabrak pintu gerbang.

"Ayo, ayo... Aku udah telat nih."

"Hati-hati dong. Sakit gak tuh?" Tanya cowok bertubuh jangkung yang wajahnya tertutup helm. Ajeng menggeleng seraya memakai helm nya.

"Gak... Ayo... Aku udah telat nih!"   

Ajeng turun dari motor dengan sekali lompatan.

"Makasih ya Ben! Aku masuk kelas duluan, udah telat... Daaaaah!" Ajeng berlari dengan cepat menuju kelasnya. Begitu dia sudah sampai dikelas, dia melenggos. Ternyata dosen nya masih belum datang.

"Kirain aku udah telat..." Ajeng duduk disebelah Ghina yang sudah tertawa pelan sambil menggeleng.

"Ya untung deh dosennya belum datang. Coba kalo udah datang, gak boleh masuk palingan kamu." Ajeng tertawa meringgis sambil menggusap bahu nya.

"Eh Gin! Tau gak... Rumah budhe yang disebelah kost-kostan, yang di kontrakin itu, sekarang udah ada yang nempatin. Huh! Bete deh. Aku jadi gak bisa duduk-duduk lagi tempat itu lagi kalo lagi suntuk..."

Bunga Matahari dan Matahari nya {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang