Meringkih, berduka tertusuk nestapa
Coba dengarkan suaranya
Siapakah dia, siapa yang merintih itu
Dia adalah Ibu Pertiwi
Yang menangis tiada iba bersama
Mengapa air matanya bagai sungai mengalir
Mengapa laranya sekencang kilat mengamuk di sana
Tidak akan ada asap tanpa sepotong api
Dan ibuku ini bersedih atas seutas asal
Di sana, di ufuk timur itu
Adalah tempat layaknya mentari bercahya
Selimut hangatnya, untuk tunas bangsa seorang
Namun, tega sekali dia
Teganya mendung itu tutupi sang mentari
Rasuki jiwa setiap tunas di sana
Tunas cerahnya bangsa ini
Yang akan menjadi pohon rindang bersemi
Kini tlah layu termakan arus modern
Coba jernihkan dan pikirkan semata
Apakah mendung itu
Bukan hanya alasan lara Bunda Pertiwi
Mendung itu perlambang pikiran kalian
Pikiran kalian para masa depan bangsa
Yang kini kotor tergores globalisasi
Yang kini hilang jati diri tak lagi murni
Kita adalah bagian doa Ibu Pertiwi
Doanya agar kita dapat bermakna
Lukis cerah waktu datang bangsa ini
Namun jika kita adalah mendung itu
Lalu siapa, siapa yang akan menjadi atap
Teduhi, dan mengayomi setiap warga bangsa ini
Jangan sampai kita jadi mendung itu
Yang Berjaya cucurkan air matanya
Atas semua tindak yang akan terjadi
Sepantasnya pancasila yang jadi pelindung
Pemberian ibu kita, Ibu Pertiwi
KAMU SEDANG MEMBACA
Salman Picisan
PuisiKumpulan puisi diary keseharianku yang aku kemas menggunakan permainan diksi diksi indah. yang sebagiannya pernah dimuat di majalah siswa, ditampilkan untuk umum, dan juga untuk lomba. Cover menggunakan foto Rizki Ridho 2R, karena mereka adalah ins...