(1) Day of You Pt. 1

255 14 4
                                    




"Pesanan nomor 37 atas nama Kak Ara!"

Seruan petugas bubble tea waralaba luar negeri itu memecah lamunan−atau tepatnya fantasi−Ara yang sedang memperhatikan seorang perempuan yang duduk dua puluh langkah darinya. Dari jauh ia dapat melihat perempuan tersebut berbicara ke layar ponsel di genggamannya. Gabungan piksel di layar ponselnya menampilkan gambar seorang pemuda yang sedang mengulum senyum. Video call. Ara tidak dapat mencuri dengar pembicaraan mereka berdua−tapi ia hapal betul dari pipi gadis tersebut yang memerah dan gelak tawanya yang sesekali muncul mereka berdua sedang ada di dunianya sendiri.

Ara mendengus. Can't relate. Must be nice.

Sepanjang umurnya yang masih tergolong sebentar di bumi ini, Ara biasanya acuh tidak acuh terhadap ide akan sosok yang dapat ia panggil kekasih untuk dapat menemani hari-harinya. Bukannya tidak mau, namun ia hanya menjalankan falsafah hidup sejalan dengan prinsip Cher, diva terkenal itu. Men aren't necessities, they're luxuries. Mengutamakan tujuan hidup untuk menemukan belahan hati bagi sisa hidupnya nanti di umur sebelia ini terasa membuang waktu. Terlalu banyak hal yang ia pusingkan dan ia prioritaskan. Selain itu, ia merasa kebutuhannya akan dukungan emosional dapat dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman terdekatnya. Namun akhir-akhir ini, ada sudut di hatinya yang berdenyut aneh setiap kali ia melihat pasangan yang menunjukkan afeksi di depan umum. Rasanya ada suara kecil yang meledeknya dan mengundangnya untuk berfantasi−di kehidupan lain, di masa yang berbeda−Ara bisa saja menjadi gadis yang pipinya bersemu merah setiap kali wajah kekasihnya muncul di layar ponselnya. Hal ini telah berlangsung terutama selama beberapa waktu terutama sejak Jorgy, sahabatnya semasa sekolah dulu, meneleponnya seminggu yang lalu.

Sambil tersenyum seadanya, Ara mengambil pesanan, lalu melangkah keluar dari gerai seraya memasangkan earphone ke salah satu telinganya. Antrian panjang yang ia alami sebelumnya membuatnya jengah dan ingin segera kembali ke kost. Teriknya matahari Bandung siang itu tidak menghalangi Ara untuk berjalan di trotoar sembari menyesap minuman kesukaannya pelan-pelan. Ingatannya pun berlari ke percakapan minggu lalu itu.

###

"Jorgy!" pekik Ara senang setelah melihat caller ID yang familiar muncul di layar ponselnya.

Terdengar suara tawa baritone yang selama ini akrab di telinga Ara. "Woy, Ra. Apa kabar?"

"Baik kok, lo sendiri gimana? Kapan pulang? Tumben banget lo ada sinyal," cerocos Ara dengan semangat seraya melemparkan dirinya ke kasur.

"Haduh, udah bosen di hutan nih gue. Pengen liat manusia sama gedung beton," keluh Jorgy.

Berbeda dengan Ara, selepas lulus dari sekolah menengah kejuruan, Jorgy memutuskan untuk bekerja sambil berkuliah−sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui katanya−karena ingin meringankan beban orangtuanya. Tidak disangka-sangka, Jorgy yang sewaktu sekolah sempat menempati ranking nomor satu dari bawah, malah mendapatkan posisi yang lumayan sebagai staff analis di sebuah perusahaan oil & gas swasta yang berposisi di Kalimantan Timur. Hanya ada satu kekurangannya, Jorgy terpaksa menunda dulu rencana kuliahnya untuk tiga tahun ini karena kontrak yang menuntutnya untuk bekerja di lapangan.

Ara tergelak dan membalas ucapan Jorgy. "Namanya juga mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian."

"Iya sih. Untung bayarannya lumayan, kalau nggak udah cabut dari jauh hari gue," tukas Jorgy.

"Kapan lo balik kesini? Udah lama kita nggak main bertiga bareng Dimas. Gue kangen, tau."

Dimas. Dimas Pradanto. Dimas, Jorgy dan Ara. Tiga sekawan yang tidak dapat dipisahkan sewaktu sekolah dulu. Dimas yang awalnya pemalu namun selalu dapat diandalkan menjadi keping puzzle pelengkap sifat Jorgy dan Ara yang terkadang menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Mereka bertemu saat kelas sepuluh dimana ketiganya mendapatkan nilai terendah di pelajaran fisika. Mau tidak mau, liburan mereka dihabiskan dengan upaya belajar siang-malam demi mengubah warna-warna merah di kertas menjadi nilai-nilai bertinta biru yang dapat diterima sekolah. Guru fisika mereka hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala saat melihat mereka bertiga menjadi lebih erat setelah kejadian itu. Beliau pun mengeluh, "Ini siapa yang bisa membantu nilai kalian kalau mainnya bertiga terus?"

Selepas lulus, layaknya Jorgy, Dimas memutuskan untuk bekerja di sebuah konsultan swasta di Jakarta seraya mengambil kelas malam khusus karyawan di salah satu universitas di kota yang sama. Kesibukan mereka bertiga dan jarak yang jauh; Jorgy di Kalimantan, Dimas di Jakarta dan Ara di Bandung, membuat frekuensi mereka berkumpul dalam setahun dapat dihitung dengan jari.

"Untuk bulan depan gue full di Jakarta dan ada kerjaan juga di Bandung. Ada yang mau gue bawain?"

"Hm. Bawain uang jajan."

"Hutan disini bukan hutan pohon duit juga, neng geulis," omel Jorgy.

Tawa Ara pun meledak lagi. "Canda, canda. Nggak usah bawain apapun, Jor. Gue rasa kita bisa ngumpul bertiga aja udah bagus. Dimas lagi sibuk banget sekarang," Ara menggumam. "Bahkan mungkin gue lebih sering ketemu lo dibanding ketemu dia."

Jorgy mendecak dan kemudian berkata, "Wah, beda lah ya sekarang mentang-mentang sama Risa. Kita prioritas nomor sekian."

"Gue nggak bisa nyalahin dia, sih. Lagi honeymoon period pacaran, kali," Ara berujar pelan.

Mendadak Jorgy teringat sesuatu dan ia berkata, "Eh by the way, kalau nanti gue ke Bandung sekalian temenin cari kemeja sama dasi ya."

"Buat apaan? Lo aja kalau lembur di kantor biasanya pakai sarung."

"Sialan lo. Buat nikahan Dimas lah."

"Kakaknya Dimas mau nikah?"

"Dimas yang mau nikah 3 bulan lagi, Aravis Kanindya," ucap Jorgy pelan-pelan.

Deg. "N-nikah?" Ara tidak sadar ia meremas selimut di genggamannya ketika mendengar kata tersebut dari speaker ponselnya.

"Memangnya...lo nggak dikasih tahu sama dia?"

Ara menggigit bibirnya dan ia dapat merasakan ada sesuatu yang berdenyut di hatinya. "Kenapa hal sepenting ini gue nggak dikasih tahu?"

"Sejujurnya gue juga bingung kenapa, karena ini big news, kan. Tapi tenang aja, Ra. Gue yakin dia punya alasan sendiri buat ngasih tahu langsung ke lo nanti."

Ada kesunyian singkat yang canggung diantara mereka. Ara tidak tahu harus merespon apalagi. Dimas menikah? Terlalu sedikit informasi yang dapat dicerna oleh otaknya dalam waktu sesingkat ini.

"Omong-omong, Ra. Nggak ada apa temen lo yang mau dikenalin ke gue?" kelakar Jorgy untuk mencairkan suasana diantara mereka.

"Lo lagi nggak laku. Harga minyak lagi lesu, sih," balas Ara dengan cepat.

Jorgy terbahak mendengar balasan Ara. "Monyet, hahaha. Harga minyak udah mulai stabil, tahu. Anak kuliahan baca koran dong makannya. Ra, maaf banget nih tapi gue dipanggil supervisor. Nanti besok-besok gue telpon lagi ya, bye."

Ara hanya menggumam singkat untuk membalas ucapan selamat tinggal Jorgy. Ia memindahkan ponsel ke genggamannya seraya menatap display picture yang tertulis atas nama Jorgy Kharisma disana. Masih jelas sekali hari di ingatannya hari dimana ia mengambil foto tersebut. Saat itu sekolahnya sedang mengadakan kunjungan industri rutin agar siswa-siswinya dapat melihat langsung proses aplikasi keilmuan mereka di lapangan. Tujuan yang sangat mulia, namun pada kenyataannya acara tersebut hanya dimanfaatkan oleh para siswa-siswi untuk mengambil foto selama perjalanan terutama apabila ada yang tertidur dengan pose jenaka. Gambar sweater putih Dimas dan wajahnya yang sengaja berekspresi konyol di tengah kata stop, serta gelagat Jorgy yang kesal karena tidurnya dibangunkan. Masa-masa yang belum penuh dengan kekhawatiran.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(1000) Days of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang