(1) Day of You Pt.2

165 11 0
                                    

"I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn't make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet."

― Sylvia Plath, The Bell Jar

Indecisiveness. Sungguh sebuah kata yang Allan benci. Hate is such a strong word, tetapi Allan mempunyai argumen yang dapat menyokong pendapatnya.

Menurut banyak penelitian yang sudah dilakukan, manusia mempunyai life expectancy sekitar 79 tahun. Waktu yang amat singkat apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain yang diberikan tempo yang lebih panjang−seperti kura-kura raksasa Galapagos yang dapat bertahan hidup hingga 177 tahun. Bahkan, ada sekelompok peneliti biologi laut yang berhasil menemukan bukti seekor spesies paus yang umurnya telah mencapai 211 tahun. Namun di sisi lain, 79 tahun adalah durasi yang cukup panjang dan sia-sia apabila seorang manusia hanyalah menjadi seonggok daging tidak berprinsip yang menghabiskan persediaan oksigen di muka bumi ini, begitu menurut Allan. Mungkin sedikit harsh, tetapi begitulah cara Allan memacu dirinya.

Allan Wijaya yang selalu penuh kalkulasi sedari kecil. Menghitung jumlah. Menghitung langkah yang dibutuhkan untuk meraih mimpinya. Ada ritme dan nada tertentu dalam gumamannya yang menyebabkan semangatnya tertulari dengan cepat. Hidupnya yang konstan kadang-kadang membuat teman-temannya ingin bertanya, tidakkah ia merasa takut akan dilahap ambisinya sendiri? Kenalkah ia akan rasa takut itu?

Allan merasa sedikit konyol−bisa-bisanya ia malah mengingat-ngingat umur kura-kura raksasa Galapagos disaat terik matahari Bandung menggigit tengkuk lehernya. Ia memiringkan telapak tangan ke atas matanya untuk menghalangi sinar yang menyilaukan dan menyapukan pandangan ke sekitar tubuhnya. Perhatiannya terpaku pada sederetan rumah besar yang hampir seluruhnya mempunyai jumlah jendela yang cukup banyak. Rumah kost-kostan. Dari desainnya yang cukup ciamik dan lingkungannya yang apik, Allan dapat melihat bahwa ini adalah komplek kost bagi mahasiswi putri dari kampus-kampus terdekat. Berbeda dengan komplek kost putra yang entah bagaimana caranya−dari sepatu sneakers yang bertumpukan di pintu masuk, asbak yang belum dibersihkan di ruang depan atau motor yang sering diparkir sembarangan−dapat dilihat ciri-cirinya kalau itu adalah lokasi kaum adam.

"Kak, lo yakin ini jalan yang bener? Gue udah di Jalan Kanayakan Baru tapi nggak ada nomor 33. Adanya juga nomor 34," ucap Allan tanpa basa-basi ke telepon selular di genggamannya.

Allan menunggu suara kakak perempuannya, Aliya, menjawabnya dari seberang sana. Namun, yang terdengar hanyalah suara gelak tawa dan denting suara alat makan yang memenuhi telinga Allan. Aliya lagi dimana sih?

"Kak. Serius dong," ujar Allan dengan gusar. "Bandung panas banget dan gue sebentar lagi akan gosong kalau lo nggak kasih tahu alamat yang bener."

Akhirnya terdengar suara Aliya yang tergelak di tengah-tengah entah cerita apa yang sedang didongengkan teman-teman sosialitanya. "Sya, stop dulu cerita lo! Ini bentar, adek gue lagi nyariin kost buat gue di Bandung."

Allan mengedikkan bahunya seakan-akan ia dan Aliya sedang berkomunikasi secara langsung, "Jadi?"

"Kenapa tadi lo bilang? Nggak ada nomor 33? Kan udah gue kasih alamat yang bener."

"Iya, tapi nggak ada. Adanya cuman rumah nomor 32 dan langsung nomor 34. Gue juga nggak ngerti kenapa penomorannya aneh begini."

Aliya malah tertawa geli seakan-akan ia tidak peduli dengan keadaan Allan. "Duh gimana ya, Lan. Lo tau kan bulan depan gue udah harus dapet tempat tinggal disana dan saat ini yang ada di Bandung ya lo, bukan gue. Please cariin buat gue lokasi yang bener dimana, okay?"

(1000) Days of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang