Hey, Aku Vian!

11 2 1
                                    

Vian sedang ditugaskan untuk menghadiri rapat anggota OSIS. Laki-laki yang tak hanya mahir memainkan bola basket itu ternyata seorang yang berprestasi juga. Ada banyak penghargaan yang telah Ia sumbang untuk sekolah. Ketua kelas yang banyak digandrungi junior-junior karena tampangnya yang oriental itu bernama lengkap Alvian Dimas Anugerah. Ia adalah calon yang tepat bagi setiap wanita yang menantikan pujaan hati yang sempurna. Tak hanya itu, sifatnya yang friendly dan baik hati menambah nilai plus bagi dirinya.

"An, sekarang minat eskul seni sudah berkurang. Setelah ku telusuri ternyata mereka tidak tertarik karna pengajarnya yang tak ramah. Kamu kenal Doni anak 12 Ipa 3? Dia bilang si Prima hobinya marah-marah mulu. Jadi males mereka ikut eskul lagi" ucap Cika ketua seksi bidang Kesenian.

"Kenapa kamu nggak coba bilangin si Prima, kasih pengertian atau apa, gitu?" tanya Vian dengan mimik wajah serius.

"Udah, An. Tanya tuh si Bimo" jawab Cika sambil menunjuk ke arah Bimo yang duduk di depannya.

"Iya, An. Aku juga sudah coba bilang dengan Prima. Keras tuh anak" seru Bimo menangapi perkataan Cika.

"Mungkin, dia lagi ada masalah. Nanti aku coba bilang sama dia" jawab Vian sambil mencoba menyakinkan rekan-rekannya itu.

"Gimana, kalo kita buat lomba yg berbau seni? Kan sebentar lagi juga mau diadain lomba besar, kita tambah aja cabang lomba dari eskul seni. Kan sebelumnya belum ada" usul Jane.

"Boleh juga tuh Jane. Mungkin minat mereka bakal bertambah. Ca, nanti kalau buat proposal tambahin ya. Gimana kalau lomba musik. I mean lomba nyanyi? Kalian setuju nggak? Mungkin ada usul?" jawab Vian sebijak mungkin.

"Ok, aku anggap angukkan kepala kalian mewakili suara kalian. Ada yang mau dibahas lagi? Soal eskul atau kegiatan buat lomba nanti? Kayaknya nggak ada lagi. Ok, teman-teman dengan berakhirnya diskusi kita hari ini, saya ucapkan terimakasih dan selamat siang" tambah Vian sambil menyusun kertas-kertas hasil diskusi.

Vian berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Tak sengaja Ia melihat Prima yang baru saja menjadi topik pembicaraan di ruang OSIS membawa tas punggung berwarna abu-abu miliknya sambil menruni anak tangga. Vian bingung, mengapa saat jam pelajaran ke-5 Prima keluar dari kelas. Vian menyusul Prima yang beberapa meter dihadapannya itu, memastikan apa yang terjadi.

"Prim, mau kemana?" seru Vian sambil menepuk bahu kanan temannya itu.

"Bukan urusan lu" jawab Prima ketus. Vian tak berani bertanya banyak, Ia takut akan membuat mood Prima semakin memburuk. Vian mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan mendatangi ruang kelas 12 Ips 3 yang menjadi tempat Prima menghabiskan satu tahun sekolahnya di kelas 12.

Vian mendapat informasi bahwa Prima membawa sebungkus rokok di tasnya. Prima tidak akan diizinkan masuk sekolah sebelum orangtuanya datang ke sekolah.

Vian memutar akalnya untuk mencari cara agar Prima boleh masuk sekolah. Tanpa pikir panjang Vian menelfon ibu Prima dan menjelaskan semuanya lewat telfon genggamnya itu berharap agar ibunya Prima mau datang ke sekolah.

Entahlah apa yang sudah terjadi, namun sekitar satu jam dari Vian menelfon ibu Prima, Prima mengajak Vian untuk bertemu di danau buatan yang tak jauh dari sekolah mereka. Danau tersebut sekaligus menjadi tempat dimana Prima dan Vian memutuskan persahabatannya.

"An, maksud lu apa ngasih tau Ibu soal masalah sekolah, hah? Kan sudah gua bilang jangan ikut-ikut urusan hidup gua lagi. Susah amat yah, nggak ngerecoki hidup orang?" seru Prima saat mendapati Vian berjalan menuju arahnya.

"Bukan kayak gitu Prim, aku ngasih tau Ibu kamu supaya kamu nggak di skorsing dari sekolah. Emang kamu mau nggak masuk sekolah hah?" tanya Vian dengan nada peduli.

"Tau apa lu soal masalah gue? Nggak usah sok peduli! Emang hidup lu sudah sempurna hah?" tanya Prima ketus.

"Ohh, ya, ya. Otak encer, anak orang kaya, punya banyak prestasi, dan satu lagi orang tua yang sempurna" tambah Prima.

"Elu tuh yah, gua tuh lakuin semua ini buat lu, buat masa depan lu! Gua nggak mau hidup lu hancur An! Gua nggak mau hidup lu hancur kayak..." belum habis kalimat yang diucapkan Vian. Prima sudah menarik kerah baju yang dikenakan oleh Vian. Yang membuat mukanya memerah karena geram terhadap Vian.

"Sekali lagi gua tegasin sama lu yah, jangan ikut-ikut urusan hidup gua. Kalau lu nggak mau celaka!" tegas Prima kepada Vian. Vian hanya terdiam tak berani menatap mata yang dulu pernah bersahabat.

Prima pergi meninggalkan Vian yang masih berpaku di tempatnya. Vian bingung dengan perasaannya, saat seseorang mencoba melakukan yang terbaik namun Ia tidak dihargai. Vian rapuh menatap pundak temannya yang berlalu.

Vian memperbaiki kerah bajunya yang kusut dan hampir koyak karna cengkraman Prima. Vian meperbaiki dirinya agar tidak terlihat berantakan. Dan berlalu meninggalkan tempat yang dulu pernah meninggalkan kenangan manis bersama laki-laki yang tak bisa Ia kenal lagi.

Hembusan angin bersama dedaunan yang gugur menambah perih hati Vian. Akalnya mengingat kembali kenangan bahagia bersama Prima saat mereka saling menertawakan satu sama lain. Vian mengingat kembali betapa banyak warna yang bernah dilukis oleh Prima yang kini telah menjadi abu tak berwarna.

Right Now!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang