Remember

26 2 4
                                    

Sarah's POV

Hari ini aku melihat sosok yang tak asing dihadapanku. Aku merasa kenal dengannya, tapi siapa dia? Aku coba memutar memoriku, berpikir keras untuk mengingatnya. Dia seorang laki-laki tinggi, berkulit coklat terbakar matahari. Jaket hitam menambah kesan gelap pada dirinya. Dia menunggu di dekat pohon besar seperti mencari sesuatu. Entahlah... haruskah aku terus memikirkannya.

Aku hanya lewat didepannya. Mata kami bertemu sebentar, tak sanggup aku memandangnya lama. Matanya besar namun tak ramah. Kantung matanya? Entahlah apa yang ia lakukan semalam. Namun sekilas aku menyadari bahwa matanya menyapaku. Benar, Ia juga pasti mengenalku. Ingin sekali aku menyapanya, namun aku tak mau memanggilnya tanpa nama. Aku hanya berlalu dengan langkah cepat, menyadari jamku terus berputar tanpa henti. Aku seakan mampu mendengar bunyinya yang berkata "Kau akan terlambat, Sarah"

Benar saja, saat motor yang kutumpangi sampai di depan gerbang, guru piket yang menunggu untuk disalam sudah tidak ada lagi. Pak satpam sudah berdiri menutup gerbang besi tinggi, yang tak mungkin aku naiki untuk menerobos kedalam. Entah apa yang terjadi, Ia melayangkan tangannya seolah mengisayaratkan aku untuk segera masuk. Mungkin hari ini aku selamat.

Tiba dikelas, seorang lelaki berkacamata sudah duduk di kursi besi yang dilapisi busa empuk diatasnya. Ia memandang kearahku yang mengetuk pintu, berharap kemurahan hatinya untuk mengizinkanku masuk. Ia berdiri mendekatkan dirinya ke arahku dan berkata "Kemari". Aku memperhatikan bajuku, apakah aku sudah cukup rapi untuk dikasihani? Sekarang teman-teman dikelas mulai memandangiku, mungkin batin mereka membicarakanku. Aku tak marah, aku memang murid baru yang tak tahu peraturan.

"Kenapa kamu telat?" seru lelaki berkepala pelontos itu kepadaku.

"Tadi macet, Pak" bohongku.

"Bapak tahu rumah kamu dimana" ucapnya dengan nada terkekeh. Aku bingung darimana beliau tahu rumahku. Atau Ia hanya berpura-pura.

"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud berbohong. Saya tidak ingin dihukum" ucapku menyesal.

"Domi, kamu nggak perlu berbohong untuk tidak dihukum. Bapak tidak suka mendengar orang berbohong. Kalau kamu tidak mau dihukum, jangan melanggar. Jangan karna kamu keponakan kepala sekolah, kamu jadi seenaknya" ucapnya kepadaku.

Aku kesal mendengar kalimat terakhirnya. Aku tidak ingin orang-orang mengenalku sebagai seorang keponakan kepala sekolah. Jujur, ini sudah aku bicarakan bersama ibu, dan ibu juga sudah membicarakannya dengan Paman Daniel. Namun semua itu tak berarti lagi. Lelaki berumur yang berdiri dihadapanku menghancurkan semuanya. Dan aku tak tahu apa lagi yang dipikirkan orang-orang yang berada dalam satu ruangan ini tentangku.

"Lain kali saya tidak akan mengulangnya lagi Pak" ucapku. Ia mempersilahkanku duduk. Nanda tersenyum menyapaku, aku membalasnya.

Pelajaran dimulai. Akhirnya aku tahu bahwa guru berkepala pelontos itu adalah pengajar Kimia. Entah mengapa ketertarikanku terhadap kimia berkurang, saat aku tahu yang mengajar adalah dia.

Tak sanggup aku menahan kantuk saat Ia mulai bercerita tentang pengalaman hidupnya. Aku bertanya dalam hatiku, adakah hubungan atom-atom yang sulit dihafalkan itu dalam kehidupannya? Apakah rumus Avogadro yang membuat ia menjadi lelaki tua yang membosankan? Kurasa tidak, pengalaman hidupnya tidak menarik untuk kudengar.

Bel istirahat berbunyi ditambah dengan suara seorang wanita berkata "It's time to have a break"  membuat seisi ruangan menutup bukunya. Ya, 20 menit untuk istirahat bukanlah waktu yang cukup jika kita lambat.

Hari ini aku tak membawa kotak biru langit itu, aku ingin menyicipi rasa kuah bakso di sekolah baruku ini. Lidahku memintaku menambahkan sedikit cabai, agar tubuhku berkeringat. Aku menerka-nerka apakah Nanda akan kekantin hari ini.

"Nan, kekantin nggak?" tanyaku berharap ia akan menjawab ya.

"Hari ini aku bawa bekal Dom" jawabnya dengan nada kecewa.

"Wait yah, aku cariin kamu temen..." pintanya sambil mencegahku untuk berdiri.

"An, An. Mau ke kantin kan? Bareng Domi, gih. Dia sendiri" ucapnya saat Vian melintas di belakang punggungku. Aku tak apa jika harus pergi kekantin bersamanya.

"Ya udah ayo Sar.." ucapnya. Aku sedikit terkejut saat iya mengucapkan nama depanku. Ia adalah orang pertama yang menyebut nama depanku selain Mama dan laki-laki itu.

"Nggak ada yang cemburu kan, An" ucapku bergurau. Ia hanya membagikan senyum simpulnya kepadaku.

Kami berlalu sambil membicarakan hal-hal yang tidak penting namun cukup menarik untuk dibicarakan. Tiba dikantin, aku merasa ada banyak mata tertuju padaku. Aku paham betul maksud mata yang menatapku.

Aku memandang banner yang berisikan menu-menu makan siang. Mata ku mencari permintaan lidahku.

"An, aku mau kesana dulu yah. Aku mau pesen bakso" ucapku saat tahu Vian tidak memiliki selera yang sama denganku.

"Ok, nanti kita ketemu di meja yang diujung yah. Itu pun kalau mejanya nggak penuh" jawab Vian sambil menunjuk arah meja itu.

"Ehhmm, kalau enggak gini aja. Aku yang pesen, kamu yang jagai mejanya. Dari pada entar kita makan berdiri? Kalau jongkok entar langsung keluar..." candaku. Ia menanggapi humor recehku dengan tertawa. Laki-laki ini menarik perhatianku.

"Ya udah, kita samain aja lah biar nggak repot"

Kami memencar diantara keramaian orang. Sulit bagiku untuk menembus banyaknya tubuh dihadapanku seperti zombie kelaparan. Teriakan mereka yang memekik ditelingaku sangat nyaring.

"Bu, saya baksonya dua mangkuk" suaraku tenggelam diantara keramaian. Entahlah, aku rasa ia tidak mendengarku. Aku mencoba mendekat lagi dan akhirnya Ia mendengarku. Ia menyebut pesananku dengan keras mengisyaratkan agar salah satu anak buahnya membuat pesanan. Tak lama aku menunggu, sampai bakso itu datang dan menghampiriku.

Aku berjalan sangat lambat, berharap tak ada yang menyenggolku. Aku menuju meja kantin dengan selamat.

Aku tersadar bahwa bukan cuma aku yang akan duduk bersama Vian. Ada beberapa orang dengan makanan-makanan diatas meja.

"Hei, Dom. Jangan mau disuruh-suruh sama si Vian. Enak aja dia" ucap seorang laki-laki yang belum pernah aku lihat.

"Apaan sih lu, Bim. Orang kita bagi tugas" jawab Vian.

"Pantes aja lu jomlo, An. Masa cewe lu suruh beli makanan" ucap wanita yang kini duduk disebelahku. Keempat orang yang duduk bersama kami tertawa kecil, mengejek.

"Berisik kalian" jawab Vian kesal.

Aku tak mengubris apa yang mereka katakan, aku hanya tertarik dengan perkataan wanita berambut pendek tadi. Jomblo? Mungkin Vian bingung memilih wanita yang sudah siap berbaris mengantri didepannya untuk dijadikan tambatan hati.

Teman-teman Vian sangat menyenangkan. Mereka humoris dan sangat terbuka. Vian beruntung. Ia pasti sudah memiliki banyak memori untuk diingat dan diceritakan kepada anak-anaknya kelak.

"Ehh, lima menit lagi masuk. Gua mau bayar dulu yah" ucap Vian sembari membawa mangkuk bakso yang kami pesan.

"Dom, suka nyanyi nggak? Atau main alat musik, gitu?" tanya seorang wanita yang kukenal dengan sebutan pendek.

"Biasa aja sih, Sya. Aku cuma bisa nyanyi, itupun suaraku nggak bagus-bagus amat. Terakhir main gitar waktu praktek ujian Mid" jawabku.

"Hari ini mau yah, ke eskul musik. Kita mau nunjukin kamu, salah satu eskul terbaik di sekolah ini" jawabnya dengan semangat.

"Bentar lagi juga bakal ada lomba besar di sini. Dan salah satunya tuh musik. Lu bisa ikut bareng kita-kita" tambah Robby.

"Okey, entar aku hubungin Mama dulu buat minta izin" jawabku dengan balasan anggukan dari mereka.

Tak lama, Vian pun kembali dan kami berpencar berjalan kearah kelas kami masing-masing.

Right Now!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang