Awal

151 7 0
                                    

Udara segar merambat turun membasahi alam di pagi hari, menguap dengan baunya yang khas. Dalam pandangan yang masih samar, ku lihat jendela kamar sudah terbuka. Siapa lagi kalau bukan Ibuku yang membukanya.

Dengan mata yang masih mencoba melawan rasa kantuk, tubuhku berusaha bangkit untuk beranjak pergi ke sebuah tempat dimana rasa dingin sudah mulai menyapa benakku. Bukan hal rutin memang, ini ku lakukan jika tubuhku merasa gerah. Mandi pagi bagiku cukup menjadi kegiatan yang masuk dalam kategori jarang. Entah ini prinsip atau apa, tapi sejauh ini memang begitu adanya.

Setelah berhasil melewati pertarungan dengan air. Ku rebahkan tubuhku dibalik tembok putih penyekat antara kamar tengah dengan ruang tamu, mencari ketenangan di sela-sela matahari yang mulai menampakkan wujudnya. Seakan-akan memberitahuku bahwa hari sudah tak redup lagi.

Memandangi layar benda berkaca berbentuk persegi panjang, mungkin bisa dikatakan caraku membunuh waktu. Keseharian yang membosankan hanya aku habiskan dengan tidur, makan dan main sosmed. Apa lagi yang akan dilakukan gadis introvert seperti ku kalau bukan di kamar? Tak jarang, kadang Ibuku berteriak menyuruhku membereskan rumah.

Apa yang ku rasakan didalam hidupku, belum tentu dirasakan oleh orang lain. Dan mungkin, seperti itu juga sebaliknya. Kata demi kata yang terjalin menjadi untaian kalimat, tidak semudah layaknya membayangkan di dalam pikiran. Butuh perjalanan waktu dan kemantapan niat yang harus aku bentuk di dalam hati ini. Ini bukan seperti yang kalian bayangkan. Aku juga tidak bisa menjelaskannya. Mungkin lebih menusuk dibanding sebuah belati karat yang menancap.

Posisi ku yang sekarang sudah menginjak di bangku kelas dua belas SMA, membuat ku tersadar. Sudah selayaknya aku tahu tentang apa langkah yang harus ku ambil selanjutnya.

Hobiku adalah menulis dan cita-citaku sebagai Penulis. Itulah angan sederhanaku. Tapi sederhana seperti itupun akan tetap sulit bagi ku. Maksudku, apakah orang miskin seperti ku layak untuk bermimpi?

Di sekolah, aku menjalani hari-hari ku seperti biasa. Ya, tidak menghiraukan adanya jam istirahat bagiku adalah cara yang tepat untuk melupakan rasa lapar. Lagi pula siapa yang akan memperdulikan suara perut gadis kurus ini?

Aku cukup senang bisa menjadi salah satu siswi berprestasi di sekolah. Setidaknya memudahkan ku untuk mencari uang. Membantu mengerjakan PR dan sekedar mengajari, bukan berarti aku mata duitan kan? Coba jelaskan padaku, apa yang salah dari membayar uang iuran kelas dan membeli peralatan sekolah dengan hasil sendiri?

Ya aku tahu. Hidupku memang menyedihkan.

Aku sering belajar dengan teman-teman sekelasku. Bukan hanya mereka, terkadang ada juga anak-anak kelas lainnya yang datang ke rumah untuk menanyakan jawaban dari soal-soal matematika yang sedikit rumit. Kalau untuk berdiskusi seperti ini, tentu aku tidak akan meminta tarif sepeser pun.

Mereka bilang aku menguasai dalam bidang matematika. Hmm, tapi ku rasa biasa saja. Ada yang lebih mahir dalam pelajaran perhitungan angka seperti itu, juara satu kelas contohnya. Ilmuku, bahkan tak berbanding apa-apa dengannya.

Tak terasa pemilihan PTN sudah di depan mata. Tanpa harus ku jelaskan, mungkin kalian sudah mengerti apa maksud yang ku sebutkan barusan. Aku jujur tidak ingin berharap terlalu tinggi. Mengingat untuk bayar uang sekolah saja susah, lebih baik aku kubur saja harapan ini dalam-dalam. Ya, meskipun begitu, aku tetap mengikuti seleksi SNMPTN dan menempatkan pendidikan matematika di Universitas Negeri Medan sebagai pilihan pertama. Sebenarnya aku ingin memilih jurusan bahasa Indonesia. Namun, niatku itu harus lenyap mengingat anak IPA tidak boleh mengambil jurusan anak IPS. Begitupun sebaliknya.

Tidak hanya itu, aku juga mengikuti beberapa seleksi lainnya seperti PMDK, UIN dan Kedinasan. Kondisi ekonomi yang tak memungkinkan, membuatku tak lupa untuk mencari beasiswa, dan yang ku pilih ialah bidikmisi.

Ketika Tuhan Menjadi SandaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang