"Cii.. sadarlah, Nak!"
Aku seperti mendengar suara Ibuku memanggil. Aah, astaga! Aku melamun. Masa-masa pilu itu menghantui ku lagi. Upload-an foto teman-teman ku yang sudah memakai almamater dari masing-masing Universitas, berhasil membawaku terhanyut di cerita kelam itu kembali.
"Sudahlah, jangan di ingat lagi. Takdirmu sekarang sudah ditentukan Allah jauh sebelum kau lahir. Maka berhentilah untuk meratapi itu. Ibu tak mau kau terus seperti ini, Nak."
Jujur, aku seperti berada di kegelapan saat harus mengingat itu. Rasanya ada sekelumit kenangan pedih yang mampu menganggu rangkaian cerita baru. Dimana cerita lama yang sudah aku buat dengan susah payah harus terhempas dari genggaman.
"Kau harus sadar, Ci. Apa yang terjadi padamu sekarang ini sebenarnya berkat doa mu di masa lalu."
"Doa? Apa maksudmu?"
Aku terasa bingung mendengar penjelasan dari sahabatku ini, Aulia. Karena kembali mengingat kejadian itu, akhirnya aku memutuskan untuk curhat kepadanya.
"Coba saja kau ingat-ingat." Setelahnya ia menutup sambungan telepon diantara kami.
Sesungguhnya ucapan adalah doa. Secara tidak langsung, apa yang terjadi sekarang ini berkat perkataanmu di masa silam. Sadar atau tidaknya, kita sering menyepelekan itu. Pernah kah engkau berpikir betapa sombongnya diri kita? Bagaimana tidak, disaat dalam kondisi terpuruk kita baru datang dan mengadu pada-Nya. Saat merasa bahagia, kita malah lupa terhadap-Nya. Namun, apa yang kita katakan saat ujian menerpa bertubi-tubi? Kita malah menyalahkan Allah atas apa yang telah terjadi. Sadarlah, Teman. Sesungguhnya Allah sayang pada umat-Nya dan Dia lebih paham apapun tentang kita. Begitulah beberapa kalimat yang masih tersirat didalam benakku. Perkataan Aulia yang terakhir membuatku sedikit penasaran. Aku mencoba mencari beberapa artikel dan video yang menjelaskan kenapa "Apa yang kita harapkan tidak terwujudkan". Daaan finally, aku sedikit paham tentang semua ini.
Aku mengakui bahwa tak jarang aku lalai mengerjakan perintah yang Allah wajibkan pada hamba-Nya. Aku sholat jika pada waktu ku ingat. Aku berdoa jika dalam kondisi susah. Dan terkadang aku masih membuka aurat sampai yang bukan makhrom ku pun melihat. Ya Allah, hamba mengaku berdosa.
Ku sadari bahwa aku kurang yakin atas usaha ku berjuang di jalan-Mu. Aku masih suka bermalas-malasan. Ketika persiapan tes tertulis pun aku masih belum maksimal dalam belajar. Allah masih memberikan kesempatan untukku. Saat latihan fisik pun aku tidak berniat untuk berlatih. Allah juga masih memberikan kesempatan kedua nya untukku. Dan ketika tes interview, aku sama sekali tidak belajar. Anggapan remeh itu berhasil merasuki pikiranku. Dan yang terjadi, Allah menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lari dari-Nya.
Aulia benar, ini semua salah ku dan memang karena ku.
Langkah awal ini memang berat. Tapi aku akan terus berusaha, mengingat menggali pondasi awal untuk tegak bukan perkara mudah. Sekarang aku paham, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan manusia. Allah lebih mengetahui dari apa yang kita ketahui. Dan yang terpenting, jadikan kunci ini sebagai pedoman bahwa "JADIKAN TUHAN SEBAGAI SANDARAN, MAKA APA YANG KAU DAPATKAN ADALAH KEBAIKAN."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Tuhan Menjadi Sandaran
Nonfiksi[SUDAH DITERBITKAN] Tersedia dalam buku Perjalanan (R)asa dari Jejak Publisher sebagai kisah inspiratif terbaik dalam urutan ke 7 di 60 kisah terbaik lainnya. Ini merupakan kisah nyata yang memang terjadi di kehidupan seorang gadis cantik. Memiliki...